×

Gunungkidul ~ suaraglobal.tv

Di negeri ini, jalan raya sering berubah menjadi panggung. Bukan panggung gamelan, bukan pula arena tayub di bawah lampu petromaks, melainkan panggung terbuka tempat rakyat melantunkan “suluk” mereka sendiri—teriakan, nyanyian, coretan spanduk, bahkan diam yang penuh arti.

Demonstrasi akhir-akhir ini sesungguhnya adalah pertunjukan sosial, sebuah “wayang raksasa” di mana lakonnya lahir dari ketimpangan: ketika para wakil rakyat duduk di singgasana empuk, sementara rakyat kecil menambal hidup dengan keringat dan hutang. Ironi ini menyalakan api protes, sebagaimana api dupa yang menyala di cungkup leluhur, tetapi kali ini asapnya mengepul di jalanan kota.

Dalam jagat budaya Jawa, dikenal ungkapan: “Swara wong cilik iku swara batin jagad.” Suara rakyat kecil adalah gema batin semesta. Maka ketika suara itu pecah di jalan, jangan hanya dibaca sebagai gaduh politik, tetapi juga sebagai geger budaya, pertarungan nilai antara rasa adil dan ketidakadilan, antara harmoni dan keserakahan.

Kematian seorang pemuda di tengah aksi, bisa dipandang sebagai tumbalnya zaman. Ia mirip tokoh wayang yang gugur bukan karena kalah, melainkan karena jagad butuh keseimbangan baru. Tragedi itu menjelma “suluk berdarah” yang kini menghantui sekaligus menggetarkan nurani bangsa.

Namun budaya kita juga mengajarkan: setelah geger, harus ada ruwatan. Setelah gamelan ditabuh keras, selalu ada sepi yang memulihkan. Maka, rekonsiliasi dan dialog bukan sekadar strategi politik, melainkan laku budaya—usaha menyulam kembali anyaman yang robek, agar masyarakat tidak terus terbelah oleh kemarahan.

Baca juga  Pentas Siang Sebagai Malam Seperti Di Bioskop

Demonstrasi ini, jika dibaca dengan mata seni, adalah performans agung: rakyat memainkan perannya, pemerintah memainkan perannya, dan dunia menjadi saksi. Pertanyaannya, apakah lakon ini akan berakhir sebagai tragedi, atau bisa dialihlakonkan menjadi tirakat menuju zaman yang lebih adil?

(Ss)

Suara Jalanan Suara Kebudayaan