
Yogyakarta ~ suaraglobal.tv
Menyadari bahwa guna membangkitkan kekuatan spiritual diperlukan menempuh upaya pembersihan diri lahir bathin, manusia melakukan berbagai cara guna mencapai maksud dan tujuannya.
Dari jaman ke jaman manusia mengembangkan praktik olah raga, tempa jiwa, asah rasa, guna menggali dan meningkatkan kemampuan spiritual, dalam pemanfaatan daya guna energi yang terkandung didalam tubuhnya.
Untuk mampu menghimpun energi dan mengendalikannya diperlukan latihan dalam olah raga, olah nafas, olah rasa dibarengi tekad dan keyakinan akan berhasil menggandakan daya guna energi dalam diri yang terkandung dalam diri bagi kehidupannya.
Dari kitab – kitab suci agama samawi maupun agama bumi bisa diperoleh informasi tentang perihal ini, tersirat dalam ayat – ayat suci yang berisi firman tuhan agar dilaksanakan oleh umatNya.
Kepada Musa, yang didorong keinginan kuat ingin bertemu tuhan, Allah menurunkan FirmanNya agar Musa berpuasa.
Bisa ditemukan literasi atau referensi terkait puasa dan pencerahan dalam beberapa agama:
Agama Samawi (Islam)
Surah Al-Baqarah, Ayat 183*: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Surah Al-A’raf, Ayat 142 : “Dan Kami telah menjanjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan oleh Tuhannya empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.”
Agama Kristen (Katolik)
Matius 4:2 : “Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya Ia lapar.”
Lukas 18:12: “Aku berpuasa dua kali seminggu dan memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.”
Agama Buddha
Tidak ada ayat spesifik: Dalam agama Buddha, Sidharta Gautama melakukan meditasi dan bertapa di bawah pohon Bodhi untuk mencapai pencerahan. Kisah ini diceritakan dalam berbagai sumber Buddha, seperti Vinaya Pitaka dan Jataka Tales.
Dalam agama Buddha, pencerahan Sidharta Gautama tidak terkait dengan puasa dalam arti yang sama dengan agama-agama lain. Namun, puasa dan meditasi adalah praktik spiritual yang penting dalam agama Buddha untuk mencapai kesadaran dan pencerahan.
Kepada nabi terakhir Muhammad SAW, diperintahkan juga untuk berpuasa pada bulan Ramadhan.
Secara syariat jalannya berbeda. Namun esensinya petunjukNya sama, yakni mensucikan jiwa. Menahan diri dari segala godaan nafsu – nafsu yang bisa membuat manusia tergelincir pada perbuatan dosa.
Masih banyak contoh yang bisa dipetik dari berbagai kitab yang dipedomani manusia dari generasi leluhurnya..
Pencarian makna dari laku prihatin, baik berpuasa, samadi, atau bertapa berkembang di seluruh penjuru dunia. Juga di Nusantara.
Kemudian kita mengenal berbagai metode menghimpun energi azali itu dengan sebutan yang berbeda- beda pula. Melalui olah tubuh, olah nafas, dan upaya serupa muncul istilah kundalini, cakras, prana dan sebagainya.
Secara umum kemudian lebih dikenal sebagai tenaga dalam. Pengolahannya didasarkan pada pengendalian diri terhadap godaan nafsu badani dan gejolak emosi jiwani.
Pensucian diri lebih bersifat bathin. Meskipun tetap dibarengi dengan tata cara lahiriahnya, seperti halnya : Tapa kungkum, Ruwatan, Melukat yang maknanya membersihkan diri dari sukerta.
Proses panjang laku pensucian jiwa itu sebagian besar dilandasi pembacaan doa dan mantra – mantra.
Pada masyarakat Jawa, di kenal dengan sebutan : Mantra tolak bala, ada juga yang menyebut mantra panglebur dosa.
Ada yang dalam laku prihatinnya menempuh cara diam (tapa mbisu), menjaga diri selalu dalam kondisi eling waspada agar tidak melakukan perbuatan yang nista atau tercela yang bisa mengotori jiwanya dengan perbuatan dosa. Sambil melakukan tapa mbisu ( berpantang untuk berkata – kata). Ada pula yang menjalani laku prihatin dan pembersihan jiwa dengan sesering mungkin menggemakan amalan doa dan puja mantra.
Pada kalangan masyarakat yang berjiwa seni, upaya pembersihan jiwa itu sering dilakukan dengan diiringi memukul benda – benda yang menghasilkan bunyi tertentu seperti mangkuk misalnya, ada pula yang mempergunakan cara menggoyangkan lonceng yang menghadirkan bunyi gemerincing. Ada juga yang mempergunakan instrument alat musik tiup seperti seruling atau berbagai alat musik tiup lainnya.
Kesemua sarana itu dapat memiliki beberapa efek dan tujuan, tergantung pada konteks dan tujuan spiritual yang ingin dicapai.
Berikut beberapa kemungkinan:
*Efek Pembacaan Mantra*
Pembersihan Jiwa : Pembacaan mantra penyucian diri dapat h, dan energi tidak seimbang.
Keseimbangan Energi : Pembacaan mantra dapat membantu menyeimbangkan energi dalam tubuh, sehingga meningkatkan keseimbangan dan harmoni dalam diri.
Koneksi Spiritual : Pembacaan mantra dapat membantu meningkatkan koneksi spiritual dengan diri sendiri, alam semesta, atau kekuatan yang lebih tinggi.
*Efek Instrumen Musik Tiup*
Pengaruh Suara : Suara instrumen musik tiup dapat memiliki pengaruh pada keadaan mental dan emosional seseorang, seperti mengurangi stres, meningkatkan relaksasi, atau meningkatkan energi.
Getaran Energi : Suara instrumen musik tiup dapat menghasilkan getaran energi yang dapat mempengaruhi keadaan energi dalam tubuh, sehingga meningkatkan keseimbangan dan harmoni.
Mengolah Energi Gaib Kekuatan Jiwa
Fokus dan Konsentrasi : Pembacaan mantra dan instrumen musik tiup dapat membantu meningkatkan fokus dan konsentrasi, sehingga memungkinkan seseorang untuk mengakses dan mengolah energi gaib kekuatan jiwa dengan lebih efektif.
Pengaktifan Chakras / Cakra: Pembacaan mantra dan instrumen musik tiup dapat membantu mengaktifkan dan menyeimbangkan chakras, sehingga memungkinkan seseorang untuk mengakses dan mengolah energi gaib kekuatan jiwa dengan lebih efektif.
Dalam mengolah energi gaib kekuatan jiwa dengan menghadirkan bunyi dan suara, seseorang dapat mencapai beberapa tujuan, seperti:
Meningkatkan Koneksi Spiritual : Meningkatkan koneksi spiritual dengan diri sendiri, alam semesta, atau kekuatan yang lebih tinggi.
Meningkatkan Keseimbangan Energi : Meningkatkan keseimbangan energi dalam tubuh, sehingga meningkatkan keseimbangan dan harmoni dalam diri.
Meningkatkan Kemampuan Spiritual : Meningkatkan kemampuan spiritual, seperti intuisi, telepati, atau kemampuan lain yang terkait dengan energi gaib kekuatan jiwa.
Dalam sejumlah kesempatan ketika mengisi acara dalam kegiatan komunitas seni dan pelaku spiritual, saya melakukanya. Ini semacam eksperimental performance.
Kolaborasi dengan Compuser maupun Pemusik, Pembacaan Mantra diiringi musik. Dilakukan dengan saling menyelaraskan, mengalir begitu saja dengan mengikuti usikan rasa, menjadi sebuah pertunjukan yang disaksikan para pemirsa.
Diantaranya performance bersama Ugenk yang mengiringi pembacaan puisi dan mantra dengan alat musik tiup Karundeng dan suling, berhasil menciptakan suasana pembacaan puisi dan mantra yang unik dan tidak biasa.
Pada kesempatan yang berbeda, saya sempat melakukan beberapa kali performance bersama seorang Composer sekaligus dosen Institut Seni Indonesia, ISI Yogyakarta, Jurusan Penciptaan Musik, Dr. Memet Chairul Slamet.
Alunan musik tiup yang di bawakan, kadang terdengar seperti mengiringi pengucapan mantra yang saya bacakan. Kadang saling meningkahi, bahkan terkesan tabrakan yang disengaja untuk menghadirkan harmoni dan emosi tertentu yang mengalirkan energi jiwa getaran rasa.
Tak ada teori yang baku sebagai pakemnya, karena eksperimen demikian juga merupakan bagian dari sebuah proses pencarian dalam penciptaan kekaryaan.
Setidaknya dari eksperimen serupa itu telah memberikan pengalaman bathin, baik bagi penyaji, serta audien yang melihat, mendengar dan menyaksikan bisa terhanyut dalam suasana dan menikmatinya.
Bunyi dan kata berjalan, merajut aura energi gaib, yang kemudian terindra oleh telinga dan menjelmakan suasana yang mengalirkan sentuhan rasa.
Jejak perjalanan pencarian makna baru dalam ekspresi seni, eksperimen performance ini, sekedar catatan dalam eksplorasi kepekaan rasa dalam mengolah potensi jiwa, melalui gerak, bunyi dan kata.
Penulis
Tito Pangesthi Adji. Seniman, Sutradara Teater dan Seni Pertunjukan.