×

Yogyakarta ~ suaraglobal.tv

Alunan gender mengumandang mengiringi tembang – tembang Macapatan, menciptakan suasana pra acara UMBUL KIDUNG PUJA MANTRA#2

Garuda Amurwa I Bumi Nusantara terasa di liputi suasana sakral.

Tembang – tembang yang syairnya sarat piwulang – paweling yang mengajarkan keluhuran budi itu juga dimaksudkan untuk mengkondisikan agar acara berjalan khidmat.

Lokasi yang lapang terbuka, cukup jauh dari jalan raya dan permukiman ini dipilih oleh panitia untuk menggelar UMBUL KIDUNG PUJA MANTRA#2, Garudha Amurwa I Bumi Nusantara.

(Rabo, 26/8/2025, Candi Kedulan, Kalasan, Sleman, Yogyakarta)

Menginjak acara utama, pembawa acara, MConel mengajak seluruh hadirin untuk berdoa bersama, lalu

dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, dipimpin Petugas.

Ketua Panitia, Tete Rizki, yang sedang mengalami gangguan pada pita suara sehingga susah bicara, meminta Ki Gde Mahesa, untuk naik panggung dan mewakilinya memberikan sambutan.

Karena acara ini dihadiri perwakilan dari DPP FKPPAI – Jakarta, Ki Gde Mahesa meminta Eyang Ratih, Waketum FKPPAI mewakili Ki Saung Rahsa yang berhalangan hadir, untuk memberikan sambutan.

Paranormal kondang asal Pulau Bali yang banyak berkegiatan di Jakarta ini tidak naik ke panggung dalam menyampaikan sambutan. Akan tetapi dari kursi rodanya. Banyak yang disampaikan, tapi beliau lebih menekankan :

“…betapa pentingnya guyub rukun, saling menghargai walaupun kita yang berada disini memeluk agama yang berbeda. Hidup rukun, harmonis dalam kebhinekaan. Oleh karena itu, doa dan kebersamaan untuk memohonkan pertolongan Allah bagi bangsa dan negara sangat penting. Walaupun diselenggarakan dengan sangat sederhana. Yang penting khidmat. Semoga dengan kekuatan doa kita semua, terjadi perubahan menuju Indonesia yang lebih tertata ”

Baca juga  Tak Masalah Ada Yang Salah Meski Pakeliran Telah Menjadi Pakeliruan

Mikrofon berpindah tangan dari Eyang Ratih ke Bunda Yani Saptohoedoyo, Sesepuh Anggara Kasih, yang juga sama – sama duduk di kursi roda, bersebelahan.

” Bunda menyambut baik acara Umbul Kidung Puja Mantra yang ke 2. Karena tahun lalu Bunda tidak ikut. Mungkin saking bersemangatnya, ya, kemarin sore Bunda datang di tempat ini. Bunda kira acaranya Malem Selasa Kliwon. Lhoh, ternyata dilaksanakan hari Rabo, malam ini. Kecelik nggak ada siapa – siapa.

Bunda bahagia malam ini berada diantara anak – anakku semua, dulur – dulurku semua yang meluangkan tenaga, waktu, pikiran dan kerja kerasnya agar doa bersama ini bisa terlaksana. Untuk bersama – sama memanjatkan doa bagi bangsa dan negara.

Tapi karena Bunda habis sakit…nanti Bunda tidak bisa mengikuti sampai acara selesai…”

Eyang Ratih

meskipun duduk di kursi roda, menyampaikan keinginannya untuk ikut berdoa di area candi, yang posisinya sekitar 5 – 7 m dari permukaan tanah halaman luar.

Untuk bisa mencapai area upacara, tentu harus digotong dan memerlukan bantuan banyak orang.

Ki Gde langsung meminta bantuan sukarelawan dibawah koordinasi STAK, agar nanti berkenan untuk menggotong kursi roda berikut Eyang Ratih menuruni anak tangga menuju tempat upacara.

Sambutan berikutnya oleh

Danramil yang menyampaikan pesan dengan singkat. Isinya : pegang teguh Pancasila dan berBhinneka Tunggal Ika

Baca juga  Mengupas Simbol Budaya Adat Tradisi Bebarik Lawang Sanga

Tokoh Adat Drs.Untung Waluyo, Dewan Kebudayaan Kabupaten Sleman, mengatakan :

” Situasi bangsa tidak baik baik saja.

Jika logika tidak bisa menjawab, maka kembali ke gerakan spiritual, sinkron dengan alam “, tandasnya.

Menjelang waktu yang ditentukan,

semua sibuk mempersiapkan diri dalam formasi iring – iringan untuk memasuki area upacara. Tak ada narasumber yang sempat diwawancarai.Tapi dari panitia, suaraglobal.tv, memperoleh naskah dan rundown acara, dan penulis kutip sebagai berikut :

•Acara di buka dengan musik gender

(para peserta: duduk bersila didepan pintu utama candi)

• Nyi Dersanala membawakan Kidung Puja Mantra, di iringi tiupan suling Dr. Memet Chairul Slamet. •Beriringan menuju area upacara. Romo Bambang Nur Singgih bertindak sebagai Cucuk Lampah.

•Rombongan inti para pendoa disepuhi Ki Pangesthiadji, RTG. Dipoyudho Gus Farid, Ki Singgih berjalan menuju candi.

•Diikuti rombongan yang membawa sesaji dan berbagai ubarampe upacara

•Dilanjutkan pengambilan Tirta Suci dari sumber di area candi, dilakukan oleh perwakilan Bali, Jeni, lalu diserahkan kepada Eyang Ratih. Tirta Suci itu campur dengan Tirta Suci (dari beberapa sumber, berbagai daerah di Indonesia) yang dibawa Ki Pangesthiadji.

•Tokoh Adat, Drs.Untung Waluyo di iringkan petugas mengambil tanah dari area candi dan disatukan dengan tanah dari berbagai tempat keramat Nusantara yang di gocinya dipegang oleh Ki Singgih.

•Prosesi itu diiringi Kidung Wahyuning Langit oleh Nyi Dersanala.

Baca juga  Menelusuri Jejak Sejarah Adikarta Menapaki Dengan Gerak Kebudayaan

•Pembacaan Japa mantra sebagai sarana “singkir sengkala”, menjauhkan pengaruh buruk berbagai bentuk kejahatan angkara murka manusia serta bencana karena alam yang murka, demi keselamatan bangsa dan ketentraman, kedamaian Nusantara. Dilakukan oleh Team Mantra yang terdiri dari : Ki Handiwiratirta, Ki Dwija Supriyadi Sapta Atmaja, Ki I Suroinggeno, Ki Sujilan, Nyi Rika Astika.

•Dalam waktu yang bersamaan, dilakukan perform tarian garudha, kidung tolak balak, membakar wayang Dasamuka sebagai simbul memerangi angkara murka.

•Peserta berjalan memutari candi.

•Ki Pangesthiadji,RTG.Dipoyudho, Ki Singgih kembali masuk ke candi, mengakhiri upacara.

Turun kembali dan semua rombongan keluar dari area, naik ke halaman luar

•Acara ditutup dengan “ngalap berkah”,

•Eyang Ratih menyuapi para peserta upacara, sebagai simbol Ibu Bumi yang mengasihi, mengayomi.

Gunungan palawija dibagikan pada yang hadir dalam acara, sebagai simbol bahwa bumi memberikan banyak kemanfaatan bagi kehidupan manusia.

[Tito PA]

Membakar Wayang Dasamuka Simbol Memerangi Angkara Murka