×

Yogyakarta/ suaraglobal.tv/ Membangun kekuatan kekaryaan secara bersama dalam kolaborasi lintas cabang seni, seperti halnya Pertunjukan Kolaborasi Kethoprak – Wayang – Tari (Kwari) yang mementaskan “Sahoyi Mustika Pungging”. (Amphiteater – Purawisata – 24/7/2025), memerlukan beberapa hal, antara lain:

1.Menghargai keunikan masing-masing cabang seni yang tergagung didalamnya.

Setiap cabang seni memiliki keunikan dan kekuatan sendiri-sendiri.
Baik Kethopraknya, Wayangnya, Tarinya, maupun Musik pengiring dan ilustrasinya.
Tak kalah penting dukungan para pemainnya.
Bagaimana pun pertunjukan Kethoprak kontemporer ini bertumpu pada kekuatan para aktornya juga.

Dengan menghargai dan memahami keunikan masing-masing cabang seni tadi, akan dapat membantu membangun kekuatan kekaryaan yang lebih kaya dan beragam.

2.Menentukan tujuan bersama, yang jelas dan spesifik dapat membantu memfokuskan upaya kolaborasi dan memastikan bahwa semua pihak yang terlibat memiliki arah yang sama.

Dalijo Angkring, Bimo Wiwohatmo, Dr. Memet Chairul Slamet dan Pardiman Djoyo Negoro dalam wawancara saya saling melengkapi dalam memberikan pandangannya tentang makna kolaborasi.

3.Mengembangkan komunikasi yang efektif. Komunikasi yang efektif sangat penting dalam kolaborasi lintas cabang seni.
Mengembangkan komunikasi yang terbuka, jujur, dan transparan dapat membantu memecahkan masalah dan membangun kepercayaan antara pihak-pihak yang terlibat.

Ini lebih pada persoalan internal team work dalam proses produksi, antara para kreator, crew pelaksana, pemain, dan menejemen.
Hanya mereka yang bisa mengukurnya.

4.Menghormati batasan dan keahlian masing-masing cabang seni akan dapat membantu memastikan bahwa setiap pihak yang terlibat dapat memberikan kontribusi yang maksimal dan tidak merugikan eksistensi masing-masing cabang seni.

Kesadaran untuk perihal ini, tidaklah mudah untuk dibangun.
Lazimnya para seniman itu egois dalam hal mempertahankan disiplinnya dan saling pingin menonjol serta dominan mewarnai kolaborasi pertunjukan.

Ini terlihat pada beberapa adegan, seperti :
~ pembacaan puisi yang lebih berfungsi sebagai narasi
(Evi Idawati & Oka Swastika)

Begitu pentingnya ketepatan sebuah tafsir atas puisi yang menjadi narasi pertunjukan, dan kerelaan pembacanya untuk menempatkan fungsi puisi sebagai narasi kolaborasi, bukan seperti pembacaan puisi tunggal.

Puisi – puisi yang panjang itu juga cerminan egoisme penulis naskahnya. Penonjolan Kekuatan Sastra.
Tetapi pentas Kwari Sahoyi ini bukanlah ruang pertunjukan sastra semata.
Bukan jelek, tapi terlalu dominan. Jika tak hati – hati dan cermat, kekuatan dua sosok pribadi pembawa puisi – narasi itu justru bisa melemahkan makna kolaborasi itu sendiri.

5.Membangun kepercayaan dan kerja sama antara pihak-pihak yang terlibat dapat membantu memastikan bahwa kolaborasi berjalan lancar dan efektif.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, kolaborasi lintas cabang seni dapat membangun kekuatan kekaryaan yang lebih kaya dan beragam, serta tidak merugikan eksistensi masing-masing cabang seni yang tergabung di dalamnya.

Contoh kolaborasi lintas cabang seni yang sukses antara lain:

– Kolaborasi antara seniman visual dan penari untuk menciptakan pertunjukan yang memadukan seni visual dan tari.

Baca juga  Pertemuan Yang Tak Direncanakan Seperti Menjaring Angin 

Tentang ini, pada liputan ke 1, berjudul : “Konsep Para Kreator Yang Mengusung Sahoyi Keatas Panggung Kwari”, telah saya tuliskan hasil wawancara saya dengan Bimo Wiwohatmo selaku Evaluator dan Artistik.

Bimo Wiwohatmo bertanggung jawab tentang visual panggung. (simak wawancaranya pada liputan ke 1).
Juga wawancara dengan narasumber Penata Tarinya.

– Kolaborasi antara musisi dan penulis untuk menciptakan lagu yang memiliki lirik yang kuat dan makna yang mendalam.

Pada liputan ke 2, berjudul : “Menciptakan Suasana Adegan Serta Membingkainya Dengan Komposisi Bunyi”

Saya tuliskan hasil wawancara dengan Pardiman Djoyo Negoro Penata Iringan (Karawitan) & Dr. Memet Chairul Slamet (Pengisi Ilustrasi & Efek).

Pardiman Djoyo Negoro sadar betul bahwa fungsi kehadirannya dalam pentas kolaborasi itu sebagai Penata Iringan dengan instrumen gamelan. Tapi dia tidak menonjolkan karawitannya, dan rela menempatkan fungsinya sebagai pengiring bukan penampilan khusus kelompok karawitannya.
Dia bahkan berupaya menciptakan suasana pengadeganan tertentu dengan menyajikan keroncong.

Begitu pun, Dr. Memet Chairul Slamet, dia bahkan kepingin sembunyi, mengisi ilustrasi dan efek dari balik panggung saja. Bukan sebagai Penampil. Tetapi Sangat Sutradara menghendakinya muncul ke atas panggung.

Dalam pertunjukan kemarin, ada kurang terkomunikasikan dengan baik antara Dr.Memet dan Crew Panggung, dalam perihal : petasan/ mercon.(yang meletusnya terlambat)
Tidak tepat dengan berlangsungnya adegan. Telat. Dan itu di komentari Nano Asmorodono sang sutradara yang pada bagian itu tampil sebagai aktor diatas panggung.

Nah, Efek bunyi ledakan seperti ini, sebenarnya masuk dalam wilayah Memet Chairul Slamet. Kalau dia tahu diperlukan ada ledakan diatas panggung, dengan mudah dia bisa hadirkan efek itu. Tinggal menggantung selembar seng, dan memukulnya pada saat yang tepat.
Ini perihal teknis saja. Dan itu sebagai contoh pentingnya komunikasi antar profesi.

– Kolaborasi antara aktor dan seniman visual untuk menciptakan pertunjukan teater yang memadukan seni peran dan seni visual.

Liputan ke 3, berjudul : “Wayang Mego Tidak Ada Aturan Pakem”

Saya tuliskan hasil wawancara saya dengan B’Djo Ludiro kreator & Dalang Wayang Mego, dan Aktor Kethoprak Dalijo Angkring.

Pertunjukan Kolaborasi Kwari ini tidak menggunakan screen proyeksi untuk maping atau pun adegan yang yang sebelumnya direkam dengan video.
Tapi ditampilkan Wayang Mego, untuk menyederhanakan adegan dengan narasi Dalang dan permainan Wayang.

Si Dalang yang sebelumnya tidak terlihat oleh penonton, pada adegan berikutnya tampil juga diatas panggung.

Secara fungsi dan struktur lakon, peran kehadiran Wayang ini setara dengan puisi – puisi untuk merasikan peristiwa dan adegan kolosal yang jika tidak di siasati, akan membutuhkan dana yang besar dan ribet penggarapannya.

Pada liputan 4, berjudul : “Peran Mencari Pemain Atau Pemain Mencari Peran ?”,
saya tuliskan hasil wawancara saya dengan Joni Asman (DOP, Perupa, Aktor) dan Nano Asmorodono (Kreator, Sutradara, Aktor Kethoprak)

Baca juga  Pemain Mencari Peran Atau Peran Mencari Pemain ?

Pada menjelang pentas, Sutradara Nano Asmorodono memberikan pesan – pesan sebagai pembekalan bagi para pemain. Dia sendiri ikut main, dan mengakui : sering lupa dialog, dan jangan kaget kalau ada saya, akan ada improvisasi.
Nano bahkan memberikan kebebasan bagi para pemain, boleh menambah atau mengurangi dialog yang ada dalam naskah.
Nano sadar, bahwa sebagian besar pemainnya adalah pemain kethoprak yang biasa main tanpa naskah, hanya berdasarkan ploting cerita dan penyutradaraan konvensional seni tradisi.

Liputan ke 5, berjudul : “Sekelumit Kisah Nyata Perjalanan Karir Yati Pesek Menggeluti Kethoprak”

Yati Pesek seniwati senior di Kethoprak. Banyak yang bisa dipetik dari jam terbang dan pengalamannya.

Setidaknya dari sekian narasumber itu, terkumpul sejumlah data dan informasi untuk membuat analisa – analisa dan mengkritisi kekaryaan kolaborasi Kwari dalam mengadaptasi dan mengembangkan Novel karya Joko Santoso berjudul : “Roro Hoyi”, yang pada pertunjukan Kethopraknya memakai judul baru: “Sahoyi Mustika Pungging” ini.

***
Setelah selesai pertunjukan, saya sempat bertemu dengan Joko Santoso yang sedang berbincang dengan wartawan budaya Khocil Bhirowo, Kedaulatan Rakyat. Selintas ngobrol dan beliau memberi Novel Roro Hoyi, yang di bubuhi tanda tangan penulis nya.

Sampai dengan saat saya menuliskan catatan ini, belum rampung membaca novelnya.

***
Secara keseluruhan kerja kolaborasi berbagai cabang seni tadi telah berhasil menampilkan sebuah kemasan baru.
(sebelumnya Pasri juga telah menampilkan Kethoprak Wayang Tari ke#1, mengangkat karya novel Joko Santoso, dan di Sutradarai Nano Asmorodono, dengan judul “Ampak Ampak …”)

Kemasan ini saya sebut baru, karena memang baru Maestro Kethoprak Nono Asmorodono yang melakukannya) Kemasan Baru itu di tampilkan di Amphiteater, Pura Wisata, dan berbayar.

Pertunjukan itu telah menunjukkan kekuatannya dalam hal : mampu menyelenggarakan pementasan secara mandiri. Bukan pertunjukan yang di biayai dengan kucuran Dana Keistimewaan/ Danais.

Menurut saya, ini menjadikan cukup bergengsi. Dimana panitia penyelenggara bisa menjual tiket, dan penonton membeli, sebagai bentuk apresiasi pada pengkarya dan penghargaan kepada para seniman yang berkolaborasi.

Dari segi tata kelola pertunjukan dan management produksi, tentu berbeda dari pengelolaan proses produksi yang di biayai Danais.
Setidaknya dalam hal ribetnya laporan administrasi, dan pada pentas mandiri ini panitia penyelenggara bisa menjual tiket berusaha untuk menutup biaya produksi. Walau memang telah ada sponsor dan donasi.

Apakah panitia penyelenggara bisa untung ? Bisa memperoleh masukan.lebih besar dari pengeluaran ?

Entahlah.
Tapi menurut saya, bisa mengumpulkan, mempersatukan banyak orang dengan banyak latar belakang yang berbeda – beda disiplin keilmuan dari masing – masing cabang seni yang berkolaborasi itu, juga sudah mencerminkan sebuah keberhasilan dan keuntungan.

Lantas, tentang hasil pencapaian kwalitas pertunjukannya bagaimana ?

Dengan mendengar konsep – konsep para kreator yang memaparkan gagasan dan keinginan – keinginan mewujudkan ide dan harapan – harapannya, kiranya penonton bisa memperoleh gambaran tentang tingkat keberhasilannya.

Baca juga  Lakon Babaring Kalimasada Menyiratkan Ajaran Sangkan Paraning Dumadi

Ketika sebuah karya telah di pertunjukkan pada publik, melalui lounching, penerbitan , bedhah buku, pementasan… karya itu telah menjadi konsumsi publik. Siapa pun boleh menilai, mengelu – elukan pujian, atau mengkritisinya
Boleh – boleh saja mengatakan suka atau tidak suka.
Semua tergantung siapa yang menilai dan meresensinya.

Terlepas dari baik – buruk, puas – tak puas, saya melihat bahwa Maestro Kethoprak Nano Asmorodono ini memang jempolan dalam melakukan inovasi – inovasi pembaharuan dalam mengembangkan dan mengemas pertunjukan Kethoprak.

Saya pernah terlibat dalam produksi Sekethi, kolaborasi dari : Sinema – Kethoprak – Tari.
Naskahnya juga diadaptasi dari novel karya Joko Santoso yang berjudul : “Pambayun”.

Dalam kemasan Sekethi , judul berubah menjadi : ” Sang Primadona Mangir In Love”
Ini lebih besar tantangannya. Kethoprak Tobong di Mall. Dan memadukan film dengan live adegan, diatas panggung Kethoprak Tobong, di dalam Mall.

Dari pengalaman itu, bekerjasama dengan Joko Santoso & Nano Asmorodono, banyak catatan yang pernah saya buat. Pada pementasan Sekethi Mangir In Love itu, bertemu juga dengan Bimo Wiwohatmo, Esti, Joni Asman, Dalijo Angkring, Yati Pesek dll, yang setiap bertemu pada jadwal latihan selalu lanjut diskusi; hal itu memudahkan saya untuk membaca pertunjukan “Sahoyi” ini.

Baik “Mangir In Love” mau pun “Sahoyi”, memiliki kelebihan dan kekurangan masing – masing.

Malah sebelumnya, saya pernah menggarap pementasan teater yang barangkat dari adaptasi novel karya Joko Santoso juga. Dari novel berjudul : “Ranggalawe [Dipaksa] Makar”, menjadi naskah lakon berjudul : “Deja Vu Lawe”/ Teater ASDRAFI Yogyakarta, dimana saya menjadi Sutradaranya.
Disana, saya sudah menggabungkan pementasan teater dengan film juga. Setting panggung menggunakan mapping yang diproyeksikan pada bidang latar belakang stage. (Auditorium Taman Budaya Yogyakarta)

Dalam “Deja Vu Lawe” itu, Nano Asmorodono terlibat sebagai Aktor.
Memerankan tokoh Arya Wiraraja.

Artinya, proses mengkolaborasikan sejumlah cabang seni menjadi sebuah kemasan pemanggungan, bukanlah sebuah kekaryaan yang bisa di ciptakan dadakan dan tiba – tiba.

Untuk menjadi seperti yang sekarang ini, Pertunjukan Kolaborasi Kethoprak – Wayang – Tari, prosesnya cukup panjang.

Terlahirnya kemasan serupa itu, akan mendasari pencarian bentuk baru dan penyempurnaannya.

Dengan demikian, kolaborasi lintas cabang seni dapat membuka peluang baru untuk menciptakan karya yang lebih kaya dan beragam, serta mempromosikan keunikan dan kekuatan masing-masing cabang seni.

Penulis Tito Pangesthi Adji.

Mengkritisi Diri Sendiri Dalam Kekaryaan Kolaborasi Seni