×

Yogyakarta // suaraglobal.tv

Liputan Tito Pangesthi Adji dirangkum dari dialog interaktif video call bersama narasumber: Gina Anggraeni, Indra Haryadi dan Agung Ginanjar yang berdomisili di Cirebon ~

Tanggal 3/7/2025 kemarin saya menerima kiriman poster acara Bebarik Lawang Sanga, yang akan diselenggarakan pada 10 Muharam 1447 H / Minggu, 6 Juli 2025.
Informasi ini menarik. Sayangnya jarak Yogyakarta – Cirebon cukup jauh dan pemberitahuannya terlalu mendadak sehingga tidak memungkinkan saya kesana.

Hal yang menarik bagi saya, beberapa bulan yang lalu saya pernah ke situs keramat Lawang Sanga dan sempat membahas berbagai hal tentang sejarah, filosofi Lawang Sanga, upacara adat tradisi dan lain – lain. Saya ingin mengorek lebih jauh terkait Bebarik Lawang Sanga ini.

Saya lantas membalas pesan WhatsApp dan meminta waktu untuk wawancara jarak jauh Videocall.

Beberapa bulan yang lalu ketika saya berkunjung ke Keraton Kasepuhan Cirebon, Pangeran Raja Muhamad Nusantara dan Mas Agung Ginanjar, mengajak saya ke situs keramat Lawang Sanga.

Pada kesempatan itu saya bertemu dengan mbak Gina Anggraeni, seorang wanita paruh baya yang membantu juru kunci Suwardi yang telah lanjut usia, untuk merawat dan menjaga situs keramat Lawang Sanga . Ketika itu juga bertemu Mas Indra Haryadi, salah satu warga kampung Mandalangan, Kelurahan Kasepuhan yang membantu tugas istrinya, Gina Anggraeni, merawat situs Lawang Sanga.

Banyak hal yang sempat kami bahas waktu itu. Dari sisi sejarah berdirinya Keraton Cirebon, Arsitektur Unik Lawang Sanga, hingga Upacara adat tradisi Bebarik Lawang Sanga yang diselenggarakan setahun sekali setiap tanggal 10 Muharam.

Sejarah Situs Lawang Sanga

YM. Pangeran Raja Muhammad Nusantara menjelaskan :

“Bebarik Lawang Sanga, adalah upacara adat tradisi yang dilakukan pada saat ‘membuka pintu’ dari bangunan yang sekarang dikenal dengan sebutan Situs Keramat Lawang Sanga.

Dalam naskah Negara Kertabumi tercatat bahwa Lawang Sanga di bangun pada tahun 1677. Dimaksudkan sebagai persiapan sarana infrastruktur Gotra Sawala.
Pembangun itu dilaksanakan.oleh Pangeran Wangsakerta, pada masa pemerintahan Sultan Sepuh I, Syamsudin Martawijaya.

Baca juga  Membangun Warisan Budaya Peran Pasri Dalam Melestarikan Tradisi 

Ini, tempat ini, kan berdekatan dengan sungai Kriyan di luar bangunan ini.
Dulunya Lawang Sanga berfungsi sebagai pelabuhan, tempat berlabuhnya perahu – perahu para utusan yang berdatangan dari kerajaan – kerajaan di Nusantara, melalui jalur laut. Mereka datang membawa upeti.
Waktu itu daratan kan masih banyak yang berupa hutan – hutan belantara. Jadi jalur laut dianggap paling aman untuk melakukan perjalanan “, lanjutnya ketika itu.

Pangeran Raja Muhammad Nusantara juga menceritakan :
” Literasi tentang sejarah Keraton Cirebon dan buku – buku kuna cukup banyak tersimpan dengan aman di perpustakaan Keraton Kasepuhan”, imbuhnya.

Melalui video call tadi malam, Mbak Gina Anggraeni, perempuan paruh baya yang membantu tugas – tugas juru kunci Suwari yang sudah lanjut usia, memberikan keterangan tentang Upacara Bebarik Lawang Sanga yang akan diselenggarakan hari Minggu, 6 Juli 2025 :

” Kami sudah mengirim undangan ke berbagai pihak.
Biasanya acara Bebarik Lawang Sanga, dihadiri Pagedhen Keraton ; Pati Sepuh, Pati Anom, diantaranya ; Enang Zaenal, Enang Oong, dan perwakilan dari luar juga cukup banyak.”

“Keterlibatan masyarakat setempat sendiri bagaimana, Mas Indra ?” tanya saya pada salah suami mbak Gina Anggraeni, selaku penggiat budaya dan warga Kampung Mandalangan, Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemah Wungkup Cirebon.

“Warga masyarakat disini mendukung acara ini.
Sejak dulu masyarakat setempat menganggap bahwa acara Bebarik Lawang Sanga ini bukan saja hajatan pihak Keraton Kasepuhan saja, melainkan hajatan kawula alit juga. Gotong royongnya sangat bagus. Mereka datang dengan membawa berbagai makanan, ada yang membawa tumpeng, lauk pauk, buah dan sebagainya sebagai partisipasi masyarakat. Itu semua dikumpulkan di rumah – rumah warga terdekat lalu dibawa ke lokasi acara, di Lawang Sanga. Maksudnya agar dalam Bebarik Lawang Sanga rakyat kecil juga bisa ikut menikmati upeti dari raja – raja…”

Baca juga  Salah Tampa Kehadiran Pertunjukan dan Kegamangan Sandiwara

“Adakah sesuatu yang unik dalam upacara adat tradisi Bebarik Lawang Sanga ini ?, cecar saya

” Yang unik, masyarakat yang datang saling rebutan nasi uduk.
Masyarakat percaya, bahwa nasi uduk, tumpeng, dan berbagai makanan yang merupakan salah satu dari kelengkapan sesaji dan telah didoakan bersama itu bisa menjadi sarana memperoleh berkah Gusti”, jawabnya.

“Kalau rangkaian acaranya seperti apa ? ”

” Sejak pagi masyarakat melakukan kerja bakti, bersih – bersih halaman situs Lawang Sanga. Acara Inti adalah membuka pintu Lawang Sanga. Itu akan dilakukan jam 16;30″. Prosesi upacaranya di awali dengan mengumandangkan adzan, kirim doa untuk para leluhur. Lalu pintunya dibuka ‘

“Apakah masyarakat yang datang diperbolehkan memasuki bangunan situs Lawang Sanga melewati pintu sakral yang hanya setahun sekali di buka itu ?”

” Oooh, boleh. Siapa saja boleh masuk melewati pintu itu. Dan mereka nanti akan ikut menikmati upeti berupa berbagai makanan dan nasi uduk ”

“Apa saja kelengkapan uba rampe sesaji untuk upacara adat tradisi Bebarik Lawang Sanga ? ”

Gina Anggraeni dan Indra Haryadi menyebutkan dan saling melengkapi keterangannya
” Ada Nasi Congcot, dibentuk seperti tumpeng kecil. Ikan petek bakar, rujak wuni (jeroan sapi mentah), cabe merah, bawang merah, ukup bakaran dan lain – lain. Sesaji itu nantinya di taruh di 17 titik, situs – situs keramat di lingkungan Keraton Kasepuhan”

“Adakah kesenian yang ditampilkan ? Seperti kidung dengan iringan alat musik tertentu, misalnya ?

“Acara akan terjeda sebentar menjelang Maghrib. Bakda Isyak dilanjutkan dengan tawasul. Setelah itu kidung ”

“Pakai iringan instrumen musik gamelan ?”

“Kudungan saja. Itu disepuhi oleh Pak Mustaqim seorang dan kerabat keraton.”

Baca juga  Pendapa Dalem Pakuningratan Yogyakarta di Keroyok Kunang Kunang

“Pak Mustaqim yang menyimpan banyak naskah Kuna yang Mas Agung ceritakan waktu saya ke Keraton Kasepuhan itu ya ?”

Agung Ginanjar, pengusaha muda yang punya minat khusus pada bidang pemajuan budaya itu menjawab :

“Ya, waktu itu beliau sedang di Jakarta, di Perpustakaan Nasional. Beliau banyak menulis artikel dan kajian sejarah Keraton Cirebon. Besok kalau ke Cirebon lagi, saya ajak Romo kerumah beliau. Romo pasti suka. Datanya lengkap banget, banyak yang belum di ketahui publik tentang naskah – naskah kuno dan hasil penelitiannya “, jawab Agung Ginanjar.

Ya, saya dan Pangeran Raja Muhammad Nusantara serta Agung Ginanjar memang pernah berencana mau menemui Pak Mustaqim. Tetapi lantaran waktu itu beliaunya sedang ke Jakarta, dan saya harus segera balik ke Jogja karena ada tamu dari Jawa Timur yang sudah menunggu di Jogja, saya segera pulang sebelum sempat bertemu Budayawan dan peneliti sejarah Cirebon itu.

“Mbak Gina, ekh…Bu Ratu… Kidung apa yang akan ditampilkan besok ?”

Saya sebut Bu Ratu, mbak Gina Anggraeni tertawa seraya berkilah

“Saya mah abdi dalem, kawula alit, Romo !”

“Yang pasti Kidung Lawang Sanga”, sahut Indra Haryadi.
“Biasanya di lanjutkan dengan Kidung Pamungkuran, Kidung Pakungwati.
Itu panjang. Bisa sampai tengah malam…” lanjutnya.

IMG-20250706-WA0005-294x300 Mengupas Simbol Budaya Adat Tradisi Bebarik Lawang Sanga

Wawancara jarak jauh ini semakin menarik. Saya mencoba mensarikannya, meringkasnya. Tapi tetap panjang juga. Saya akan mengupasnya lebih jauh, setelah nanti memperoleh informasi dan foto – foto berlangsungnya acara Bebarik Lawang Sanga yang diselenggarakan hari Minggu 7/7/2025.

Penulis Tito Pangesthi Adji

Mengupas Simbol Budaya Adat Tradisi Bebarik Lawang Sanga