
Kulon Progo/ suaraglobal.tv
Menelusur lebih jauh dan mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan : ‘mengapa para seniman awang – awangen pentas di Taman Budaya untuk menampilkan karyanya ?’
suaraglobal.tv merangkum hasil wawancara dengan sejumlah seniman, yang mengatakan bahwa SPJ baru bisa dicairkan setelah pementasan.
Hal demikian sering menimbulkan kesulitan pada tahap pra produksi.
“Selang berapa lama setelah pementasannya dananya bisa dicairkan? Dua hari.., tiga hari…?”
“Kalau dua tiga hari setelah pentas masih lumayan. Ini bisa lebih dari dua tiga minggu baru cair.
Malah ada yang harus menunggu lebih dari sebulan..” jelas seorang seniman yang enggan di cantumkan namanya dalam liputan ini.
(sebut saja : Sunyoto)
Narasumber suaraglobal.tv ini seorang seniman. Dalam kelompoknya bertindak sebagai pimpinan produksi yang mengkoordinir para pelaku seni yang akan tampil dalam sebuah pementasan.
Termasuk mengelola management dan administrasi kegiatan yang di pimpinnya.
“Karena untuk menjalankan pra produksi membutuhkan biaya, terpaksa harus mencari pinjaman dana, sifatnya talangan, yang harus dikembalikan setelah SPJ turun.
Ini menjadi beban moral, harus berani berhutang, untuk menjalankan proses persiapan hingga pementasan”, lanjut Sunyoto.
Narasumber lain yang di jumpai suaraglobal.tvmengeluhkan hal yang sama. Walau berbeda bidang kesenian yang di gelutinya.
(Sebut saja namanya ; Warta)
“Lah kalau nggak latihan dulu sampai pantas di tonton, gimana pentasnya bisa bagus ? Semua butuh biaya untuk kebutuhan proses kreatif. Ya sekian kali latihan, pengganti transportasi para pemain, konsumsi latihan…meskipun cuma belanja teh, gula, kopi…cemilan, gorengan…kan harus keluar uang. Yang itu nggak bisa ditunda pengeluaran biayanya. Termasuk berbagai kebutuhan artistik. Seperti sewa kostum, tata rias, pengadaan properti, sett dekorasi panggung …semua butuh biaya. Ada yang bisa dibayar tunda, seperti honor pemain dan honor crew panggung”, papar Warta.
Dia lantas menyebutkan dengan rinci pos – pos pembiayaan yang harus di atasi pada tahap pra produksi.
“Ada yang harus langsung dibayar, ada yang bisa di tunda.
Ada dana yang di selenggarakan oleh pelaku seni yang akan pentas. Ada yang di selenggarakan pihak Kundha Kabudayan. Seperti beban sewa gedung, fasilitas lighting, sound system, konsumsi menjelang pentas.
Karena dananya baru cair setelah pentas…ya harus cari utangan dulu. Setelah SPJ cair baru dilunasi semua
” tambahnya.
Di wawancarai terpisah dari narasumber sebelumnya, seorang seniman seni tradisi mengatakan :
“Kalau yang diajak pentas itu orang – orang dewasa, atau tua, masih mudah ngomongnya. ‘honore mbuh kapan, suk bar manggung gelem ta ?’ Para seniman juga mau. Bisa maklum, ngurus administrasinya ribet. Tapi kalau pemainnya anak anak dan remaja ? Kan nggak mudah ngasih alasannya. Kenapa honornya kok tidak langsung bisa diterima setelah pentas, to ?” keluhnya.
Memang begitulah ketentuannya.
Termasuk potongan pajak dari honor yang di terima.
Ada satu peribahasa yang dulu sering di ucapak guru di sekolah :
“berikan haknya sebelum mengering keringat di punggungnya”
Peribahasa itu Kalimat itu tak berlaku dalam konteks : pentas dulu SPJ cair belakangan.
Bedhak gincu sudah dihapus, kostum pentas sudah dilepas, soal honor masih belum jelas.
Belum lagi terbebani hutang dana talangan dari sana sini,
yang harus segera di lunasi.
Hal seperti itu dialami oleh hampir semua forum atau paguyuban, atau sanggar, atau kelompok kesenian yang memperoleh bantuan Danais dan pementasannya di Taman Budaya.
Para penerima bantuan Dana Keistimewaan itu, sewaktu pentas di Taman Budaya dan menggunakan gedung entah itu Amphiteater, gedung Exhibition, Auditorium, atau Pendapa, juga terbebani potongan sewa gedung berikut fasilitas dan juga potong pajak.
Tentang pengguna fasilitas TBK yang terkena beban sewa gedung, pernah saya sampai juga dalam talk show yang disiarkan oleh Radio Megaswara.
(TBK, 3/7/2025), sewaktu saya menjadi salah satu narasumber disana.
Mengapa ?
Karena gedung – gedung berikut segala fasilitasnya itu juga butuh biaya perawatan.
Selain itu, karena TBK merupakan aset pemerintah daerah, juga harus menghasilkan uang untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Dan untuk bisa mencapai target – target yang telah di tentukan pemerintah itulah, mengapa TBK menyewakan gedung – gedung yang ada di Taman Budaya pada masyarakat umum yang butuh tempat untuk mantenan atau resepsi.
Karena harga sewa gedungnya cukup tinggi.
Dengan menyewakan gedung gedung itu Dinas Kebudayaan, melalui UPT yang mengelola Taman Budaya bisa menyumbangkan peningkatan PAD Kulon Progo.
Apakah itu langkah yang tepat ?
Mari kita telusur lagi, maksud dan tujuan dari di bangunnya Taman Budaya di Kabupaten Kulon Progo ini.
Jika penggunaan gedung gedung di Taman Budaya itu bisa dipakai masyarakat umum untuk mantenan, untuk resepsi pesta perkawinan… akan berdampak Taman Budaya kehilangan marwahnya sebagai wadah dan pusat kegiatan para seniman guna menampilkan potensi dan karya – karya seni yang berprestasi.
Bagi seniman, bisa pentas di Auditorium Taman Budaya, itu sebuah kebanggaan bahwa keberadaannya di akui sebagai seniman berprestasi.
Saya hanya merangkum hasil wawancara dengan sejumlah seniman dan sedikit mengulasnya.
Perihal itu tak akan tuntas dibahas.
Apa yang menjadi obsesi penyair Marjuddin Suaeb, beberapa kali mengusulkan agar gedung gedung di Taman Budaya itu bisa untuk pentas siang sebagai malam, dan yang usulannya tak pernah mendapat tanggapan itu, karena permasalahannya memang kompleks. Dan tak bisa diputuskan sendiri oleh Pengelola TBK yang ditunjuk, ataupun Kepala Dinas Kebudayaan.
Banyak pihak terkait pengelolaan dan pemanfaatan Taman Budaya
Kami masih berbincang seputar Kulon Progo, seni dan budaya. Lompatan topik kembali ke sastra.
Salah satu puisi karya Marjuddin Suaeb yang ditulis bulan Mei tahun ini, berjudul :
“Senyum
Pertama”
‘Bukan. Bukan pandangan pertama.
Ada cahaya lahiri nur matahari.
Artinya hati kita mulai senyum.
Pertama ketemu di sudut.
Beringsut dekat harap.
Tinggal berucap. Aku dan kamu.
Ada malu tapi tak perlu.
Sebab benih jatuh tumbuh.
Tak pernah musim ingkari.
Tidak. Rel hidup ibarat kisah.
Berduanya buat berpasang.
Tinggal kereta merdeka ke manapun’.
Yktengahmei 2025.juddins.@
Di penghujung obrolan sastra, penyair yang telah meluncurkan antologi puisi berjudul ;
“Trilogi Teka Teki Titik Nol”
itu pamitan.
Banyak gagasan yang terlontar dalam percakapan,
berhamburan, belum saya tuliskan.
Bersambung#3
Penulis Tito Pangesthi Adji