
Yogyakarta/suaraglobal.tv – Sejak tahun 1980an hingga 2025 sekarang ini, nama ga”Yati Pesek”, sangat dikenal oleh masyarakat Yogyakarta, terutama para penggemar kesenian Kethoprak. Karena selain aktif sebagai pemain Kethoprak di panggung, beliau juga sering sekali mengisi program siaran di TVRI Stasiun Yogyakarta. Baik kethoprak, dagelan, angkringan atau seni tradisi lainnya.
Ditemui suaraglobal.co.id di ruang rias dibagian belakang panggung Amphiteater Purawisata, Mbak Yati bersedia di wawancara dan menceritakan perjalanan kariernya sebagai pemain kethoprak yang mampu bertahan lama dan setia pada cabang kesenian yang digelutinya ;
~”Ini tanggal 24 Juli 2025. Saya main di Purawisata.
Pertunjukan Kwari. Kethoprak, Wayang dan Tari. Memang di kolaborasi.
Jadi gini…
Saya itu dulu jadi..istilahnya apa ya… Jadi pemain kethoprak yang konvensional.
Terus ikut Ketoprak Gaya Baru yang di pimpin Pak Sis, Tulung Agung…”
~”Siswa Budoyo, ya ?”
~”Iya, Siswo Budoyo, pimpinan Pak Siswondo Harjo Suwito. Cukup lama . Setelah itu bikin Kethoprak Horor. Berikutnya lagi mendirikan Kethoprak Kartini Mataram. Terdiri dari Srikandhi – Srikandhi…”
~”Perempuan semua ?”
~”Ya, kumpulan seniwati Yogyakarta.
Awalnya itu gini, kalau para seniwati ketemu kok cuman…apa, ya, …itu pas ada sripah (kematian), atau kondangan, Jagongan (resepsi perkawinan).
Nah pas pada kumpul layat di rumahnya Dik Nano (Nano Asmorodono maksudnya), kita ketemu dengan teman – teman seniwati Jogja. Termasuk Mbak Marsidah, Mbak Baningsih…terus pada ngomong : ‘ayo mbok kita ini bikin kegiatan apa ? Mengadakan arisan atau apa..?’
Ya dari situlah awal mulanya. Arisan nggak di utamakan. Yang utama nguri – uri budoyo. Nah berdirilah Kethoprak yang anggotanya perempuan semua.
Alhamdulillah, Ketoprak Kartini Mataram jadi icon Yogyakarta.”
~”Pernah manggung berapa kali ?”
~”Oo, sering.”
~”Pemainnya…?”
~”Perempuan semua ”
~”Tentang pemilihan lakon, apakah harus menyiapkan naskah khusus ?”
~”Nggak, lakon CG Minakjinggo, yang jadi Minakjinggo ya perempuan.
Termasuk saya yang jadi warok itu, saya saya Yu Beruk.
Pokoknya cerita apa saja. Sampek Ing Tai juga pernah dipentaskan. Semua pemain tetap perempuan semua…’
~”Ini menarik. Tantangan bagi seorang pemain tidak harus sesuai dengan jenis kelamin, maaf lho ya… Misalnya kesenian Ludruk Jawa Timuran. Itu kan banyak juga yang sebenarnya pria tapi harus memerankan sosok perempuan.
Uniknya, Kethoprak Kartini Mataram yang Mbak Yati rintis sebalik, seluruh pemainnya perempuan tetapi harus bisa memerankan tokoh – tokoh pria dalam lakonnya.
Menurut saya itu tantangan bidang seni peran dan keaktoran.
Apakah generasi muda kita sekarang kurang mendapat tantangan serupa Mbak ?”
~”Jadi gini, saya kan sering main di panggung ya ? Panggung Kethoprak itu…kebetulan dulu saya lama ikut Siswo Budoyo. Kan setiap malam main. Kita sudah melirik dan melihat langsung bagaimana berakting. Istilahnya, kalau anak sekolah, teori langsung praktek, gitu ya ?
Saya dan Yu Beruk sudah memperhatikan peran – peran seperti itu. Jadi kita tinggal menjalankan saja. Kita harus peka : kita pentas dimana, apa saja yang harus disikapi ?
Pak Siswondo Harjo Suwito dulu sering ngendika : ‘kamu itu harus bersyukur, bisa melihat semuanya, harus bisa melebihi dari yang seperti itu…!
Untuk teman – teman di Kethoprak Kartini Mataram, itu tidak terlalu susah kok…”
~”Tidak harus memaksakan vokalnya harus seperti pria kan ?’
~”Itu kan bisa diangkat. Misalnya kalau perempuan harus yang lembut…”
Kemudian di peragakan :
“Injih Romo…”
Tapi kalau jadi laki – laki ;
“Garwaku, yayi wong ayu…!”
Misalnya begitu. Ya semamounyalah. Soal bagaimana cara duduk, cara berjalan, atau adegan perang …ya kayak laki – laki. Pokonya selalu berusahalah…
Itu, pas gempa itu, saya pas ndherekke Pak Anom Suroto.
Saya diajak Ngreog (main reog), di ajak njathil (main Jathilan)
Pada panitia saya bilang :
“Saya mau Ngreog, mau Njathil…Ning Kula nyuwun saweran. Mangke dhuite
di klumpukke panitia..
Saya lalu minta ijin Pak Anom Suroto:
‘Niki Kula nggolek dana kangge sedherek – sedherek sing kenging bencana gempa…’
~”Ngamen ?”
~”Iya. Tenan, saya Ngreog..
Belum 5 menit ternyata yang nyawer banyak. Saya nggak mau ngitung. Yang ngitung uangnya panitia. Dapet tiga jutaan. Itu tahun 2006.
Setelah itu, Kartini Mataram pentas yang di Minggir itu.
Nah disitu uang saweran hasil Ngreog saya serahkan :
‘Kemarin malem aku ngreog dapetnya ini.
Yu Beruk, tulung ya, aku tak telpon Pak Anom Suroto, nanti Yu Beruk yang ngaturaken matur nuwun… ‘
Dari mbarang di Pasar Beringharjo, dari Ngreog dari Njathil dan dapet uang saweran itu kita bisa membantu saudara – saudara kita yang saat itu sedang terkena musibah, tertimpa bencana…”
Cerita Mbak Yati Pesek ini terungkap dalam wawancara, sesaat menjelang pertunjukan Kethoprak Kwari yang mengangkat Lakon “Sahoyi”
Jika lakon Sahoyi adalah fiksi berlatar sejarah, maka yang saya tuliskan ini adalah : sekelumit kisah nyata yang benar – benar di alami oleh Mbak Yati Pesek (bersama Kethoprak Kartini Mataram yang di dirikannya).
Penulis Tito Pangesthi Adji.
Sampai kemudian bikin kelompok Wayang Orang Panggung. Itu seluruh pemainnya juga perempuan semua..’
~”Manggung terus ya ?
~”Saya itu…jangan ada jeda waktu hanya untuk diam. Jadi kita ; yuk…terus berkarya dan berkarya .
Ya begitu, semangatnya . Ternyata teman – teman seniwati mendukung.
Sekarang ini sudah sepuh – sepuh. Umurnya ada yang 70, 75…ada yang 80 tahun lebih…
Itu kita masih mengadakan pertemuan, kumpul – kumpul, guyon – guyon, makan – makan …kalau ada yang dimakan !”, kelakarnya.
~”Kethoprak perempuan yang Mbak Yati dirikan itu kapan terakhir di pentaskan ?’
~”Kalau tanggalnya lupa. Sudah lama. Tapi itu lho….kapan itu pas ada gempa…? 2006 atau 2007. Kita kan ngomong – ngomong sama temen – temen Ketoprak Kartini Mataram itu :
‘Yuuk, kita bantu sana – sini. Untuk meringankan beban masyarakat yang tertimpa bencana’.
Sampai kit mbarang (ngamen) di Pasar Beringharjo supaya bisa dapat uang.
Pada teman – teman saya ngomong: ‘Pokoknya kalau kamu pada haus, harus beli minum…jangan ambil uang itu. Tolong minta ke saya, saya akan kasih. Mau pada haus pada lapar jangan ambil uang dari dus – dus itu. Karena uang yang kita kumpulkan di kardus itu punyanya saudara – saudara kita yang tertimpa musibah, tertimpa bencana’..”