
Tokoh Agama dan Masyarakat Adat Desak Pencabutan IUP yang Merusak Ciptaan Tuhan di Pulau-Pulau Kecil
Jakarta // suaraglobal.tv
Green Faith Indonesia bersama para tokoh agama dan masyarakat adat
menyerukan pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) di seluruh pulau kecil di
Indonesia. Seruan ini menanggapi pencabutan empat IUP di Raja Ampat oleh
Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, yang dinilai belum cukup untuk
menyelamatkan bumi dari kerusakan yang terus terjadi.
Direktur Green Faith Indonesia, Hening Parlan, menyatakan bahwa pertambangan
di pulau-pulau kecil mempercepat kehancuran ekosistem dan memperparah
krisis iklim. “Sebagai bangsa kepulauan, kita memiliki amanah spiritual dan
konstitusional untuk menjaga lebih dari 10 ribu pulau kecil. Dalam Al-Qur’an
ditegaskan, ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah)
memperbaikinya’ (QS. Al-A’raf: 56). Maka, mencabut seluruh IUP yang merusak
adalah bentuk taat kepada Allah,” tegasnya.
Pertambangan di pulau kecil juga melanggar UU No. 27 Tahun 2007, khususnya
Pasal 35 dan 73. “Pemerintah tak boleh berhenti di Raja Ampat. Cinta tanah air
berarti melindungi seluruh pulau-pulau kecil dari rakusnya eksploitasi,”
tambahnya.
Green Faith Indonesia menyoroti bahwa transisi energi yang diklaim ramah
lingkungan, justru menghadirkan bencana baru. Tambang nikel untuk industri
mobil listrik malah menambah penderitaan rakyat dan kerusakan alam. Data
Forest Watch Indonesia menyebutkan 5.700 hektare hutan hilang di Maluku Utara
sejak 2021.
Studi Nexus Foundation (Juli 2024) menemukan logam berat berbahaya—
merkuri dan arsenik—di tubuh ikan dan darah warga Teluk Weda. Bahkan kadar
logam berat di tubuh warga lebih tinggi dari pekerja industri. Ini adalah bentuk
ketidakadilan ekologis.
Kondisi kesehatan warga memburuk. Kasus ISPA melonjak dari 434 (2020)
menjadi 10.579 kasus pada 2023, ditambah 500 kasus diare per tahun. “Transisi
energi seharusnya selaras dengan nilai keadilan ekologis, bukan menciptakan
kezaliman baru atas nama kemajuan,” jelas Hening.
Dalam ajaran Hindu, konsep Tri Hita Karana menekankan keharmonisan antara
manusia, alam, dan Tuhan. “Apa yang dilakukan tambang hari ini melanggar
keseimbangan itu. Ketika bhuwana agung (alam semesta) dirusak, maka bhuwana
alit (jiwa manusia) pun ikut tercemar,” ungkap Hening.
Uskup Timika, Mgr. Bernardus Bofitwos Baru OSA, menyatakan kesedihan
mendalam atas kerusakan lingkungan di Raja Ampat dalam khotbah Misa Hari
Raya Pentakosta pada 8 Juni 2025 di Gereja Katedral Tiga Raja, Timika, Papua
Tengah. “Perasaan saya tercabik-cabik. Raja Ampat yang selama ini dimuliakan
sebagai mahakarya ciptaan Tuhan, kini dilukai oleh kerakusan manusia,” ujarnya.
Ia mengecam aktivitas tambang nikel sebagai bentuk kekerasan terhadap alam
dan masyarakat Papua, dan menyebutnya sebagai bagian dari “ketamakan
oligarki” yang menghancurkan keharmonisan antara manusia dan ciptaan Tuhan.
Pdt. Prof. Binsar Pakpahan, Ph.D, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Theologi
Jakarta (STFT Jakarta) menyebut eksploitasi sumber daya alam secara membabi
buta sebagai buah dari keserakahan struktural yang bertentangan dengan
kehendak Tuhan. “Gerakan hidup ugahari—hidup cukup dan sederhana—harus
menjangkau dunia korporasi dan pengambil kebijakan. Tidak cukup hanya
berkhotbah di mimbar gereja, tetapi juga harus menyuarakan perlawanan
terhadap sistem yang menormalisasi perusakan lingkungan,” tegasnya. Ia
mengingatkan bahwa alam adalah titipan Tuhan yang harus dipelihara, bukan
dijarah atas nama pertumbuhan ekonomi. “Tuhan menciptakan bumi ini sebagai
rumah bersama, bukan sebagai ladang eksploitasi. Ketika keserakahan mengambil
alih nurani, maka umat beriman wajib berdiri membela ciptaan,” tutupnya.
Dari Muslim, Roy Murtadho, pengasuh Pondok Pesantren Ekologi Misykat AlAnwar menyampaikan kepedihannya melihat banyak pemimpin yang tidak
mencerminkan pandangan yang tidak berpihak pada masyarakat dan lingkungan.
“Seharusnya banyak pemimpin bangs aini berjuang untuk melindungi ekosistem,
bukan justru membela kepentingan tambang, karena ini menunjukkan dilema
etika yang menunjukkan bahwa ada kesenjangan pemahaman antara kepentingan
ekonomi dan perlindungan lingkungan. Dampak negative mencakup kerusakan
habitat, pencemaran, dan penurunan kualitas air yang ini mengandung
konsekuensi jangka panjang pada lingkungan dan generasi.” ungkap Roy.
Romo Ferry Sutrisna Widjaja Imam Katolik yang bekerja di Eco Camp Bandung
yang dikelola Yayasan Sahabat Lingkungan Hidup yang bersifat lintas agama
mengingat Paus Fransiskus dalam Laudato Si yang bertanya dunia macam apa
yang akan kita tinggalkan bagi anak cucu kita generasi yang akan datang ? Apakah
hati kita masih bisa mendengarkan jeritan alam yang dirusak dan jeritan
masyarakat lokal yang dirugikan oleh eksploitasi pertambangan ekstraktif
khususnya di pulau-pulau kecil yang tidak bertanggungjawab ? Pertanyaan
mendalam dari Romo Ferry, terkait penambangan di pulau-pulau kecil.
Putu Ardana, Adat Dalem Tamblingan juga ikut menyampaikan empati dan
keprihatinannya. Berkaca dari masyarakat adat dampingannya yang sudah sangat
tua yang disebut Masyarakat Adat Dalem Tamblingan (MADT) dimana mereka
memiliki Prasasti Ugrasena yang bertarikh 922 M yang didalam prasasti tersebut
meyakini adanya keimanan masyarakat adat tersebut juga unik yang disebut
“Piagem Gama Tirta”, keimanan yang memuliakan air dan menjaga harmoni
dengan alam. Lokasi – Lokasi pegunungan dan Masyarakat adat di berbagai wilayah tanah air termasuk di Raja Ampat pasti memiliki kearifan lokal dalam
menjaga bumi dan kemudian rusak karena industri.
Sedangkan Upasaka Titha Sukho dari Pengerak Peduli Generasi Agama Budha
menyampaikan bahwa merusak hutan tempat tinggal para makhluk berarti
menentang Dhamma dan menanam benih penderitaan atau karma buruk, karena
merusak hutan sama saja kita menghancurkan tempat tinggal, tempat mencari
makan untuk hidup. Dalam agama Buddha jelas melarang manusia merusak hutan
atau alam karena itu melanggar aturan moral dan menimbulkan penderitaan baik
bagi diri sendiri atau semua makhluk sebagaimana dalam Jataka 247 (tittira
jataka) Buddha yang menjelaskan bahwa kita harus melindungi hewan-hewan
dan alam yang ada untuk keberlangsungan kehidupan dan tanpa menimbulkan
penderitaan baru.
Green Faith Indonesia mendesak kepada pemerintah dan seluruh pemangku
kebijakan untuk menghentikan seluruh aktivitas pertambangan yang merusak di
pulau-pulau kecil sebagai bentuk tanggung jawab moral, spiritual, dan
konstitusional. Seruan ini bukan hanya suara masyarakat sipil, tapi suara iman
lintas agama yang melindungi ciptaan Tuhan.
Maka, demi keadilan antargenerasi, martabat masyarakat adat, dan kesetiaan kita
pada ajaran suci setiap agama, kami menyerukan: Cabut seluruh IUP yang
merusak pulau kecil. Lindungi bumi, hormati iman, dan pulihkan masa depan.
Tentang GreenFaith Indonesia
GreenFaith Indonesia (GFI) adalah bagian dari jaringan internasional GreenFaith
yang berdiri sejak 1992 dan aktif di berbagai negara untuk memperjuangkan
keadilan iklim lintas agama. Didirikan pada tahun 2022, GFI fokus pada
pendidikan, kampanye, dan penguatan kapasitas organisasi keagamaan di Indonesia dalam isu keadilan energi dan iklim. Melalui pendekatan ajaran lintas agama,
GFI membangun komunitas akar rumput yang peduli, adil, dan tangguh dalam menghadapi krisis iklim.
Tito