×

Surabaya ~ suaraglobal.tv

Layanan publik seharusnya menjadi ruang transparansi dan kepastian hukum. Namun, yang terjadi di Samsat Tandes justru menampilkan wajah lain birokrasi: berbelit, tak profesional, dan sarat dugaan pungutan liar.

Kasus yang menimpa seorang guru di Surabaya pada Jumat (9/8/2025) menjadi potret buram praktik di balik meja loket perpanjangan STNK lima tahunan. Guru tersebut, melalui perantara R, hendak mengurus perpanjangan STNK sepeda motornya. Namun, alih-alih mendapat pelayanan cepat dan jelas, yang ditemui justru alasan mengada-ada.

Loket pelayanan berdalih bahwa berkas sang guru “kena blokir lapor jual”. Saat diminta bukti foto atau dokumen resmi, petugas bungkam. Alasan berikutnya: “blokir bank”. Ironisnya, BPKB motor itu tak pernah diagunkan ke bank mana pun.

Merasa janggal, R pun digiring ke ruang Bamin Samsat Tandes yang dijabat IPDA WW. Alih-alih memberikan klarifikasi berbasis data, perwira polisi itu melontarkan pernyataan tak masuk akal: nomor mesin motor “sudah di-grenda” sehingga tak bisa diproses. Padahal, secara kasat mata, nomor mesin maupun rangka masih asli dan utuh—tanpa bekas gerinda sedikit pun.

Situasi semakin ganjil ketika solusi yang ditawarkan justru berupa angka: Rp450 ribu. Uang itu disebut sebagai “syarat” agar berkas dapat diproses, di luar biaya resmi pajak dan notice. R, yang tak ingin mengecewakan gurunya, akhirnya merogoh kocek pribadi demi mengurus perpanjangan yang mestinya bisa selesai dengan biaya resmi negara.

Baca juga  Ketua DPC PDIP Kudus Diduga Korupsi Tahun 2022-2024 Dilaporkan ke Kejari Dengan Alat Bukti

Kasus ini membuka tabir soal lemahnya profesionalitas aparat Samsat Tandes dalam memberikan pelayanan. IPDA WW sebagai Bamin, yang semestinya mengawasi kinerja anggota, justru menampilkan contoh buruk: tidak mampu menata sistem, tidak transparan dalam prosedur, bahkan terkesan melegitimasi pungutan liar.

Jerat Hukum

Jika benar praktik itu terbukti, maka dapat masuk dalam kategori pungutan liar (pungli) dan tindak pidana korupsi. Aturan hukumnya jelas:

Pasal 368 KUHP: Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu, dapat dipidana penjara sampai 9 tahun.

Pasal 423 KUHP: Pegawai negeri yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa seseorang membayar atau memberi sesuatu, diancam penjara sampai 6 tahun.

UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 12 huruf e: Setiap pegawai negeri yang memaksa seseorang memberi sesuatu karena jabatannya, dipidana seumur hidup atau penjara 4–20 tahun.

Dengan dasar hukum itu, dugaan pungli Rp450 ribu di Samsat Tandes bukan sekadar pelanggaran etika, tapi bisa masuk ranah pidana korupsi, Kultur Lama yang Menggerogoti.

Pertanyaan besar pun menggantung: apakah birokrasi Samsat Tandes memang dibiarkan hidup dari pungutan di luar aturan? Atau ada kultur lama yang sengaja dipelihara di balik meja loket—menggembosi kepercayaan publik terhadap institusi negara?

IMG-20250820-WA0010-300x225 Samsat Tandes dan Biaya Gelap di Balik Layanan Publik

Jika benar demikian, wajar bila publik semakin apatis pada jargon pelayanan prima. Sebab yang tampak bukanlah pelayanan, melainkan permainan tarif.( Toni )

Samsat Tandes dan Biaya Gelap di Balik Layanan Publik