
Yogyakarta // suaraglobal.tv
Kabar ini cukup mengejutkan buat saya. Betapa tidak ? Saya cukup lama mengenal Greg Usanta. Bahkan sering berkegiatan bersama. Terutama jika Teater ASDRAFI Yogyakarta sedang produksi teater, pentas monolog, atau kegiatan Sastra Sompilan di Pendapa nDalem Pakuningratan Juga dalam berbagai aktifitas para Alumni ASDRAFI, seperti pameran lukisan, atau produksi film.
Greg Usanta
lebih dikenal sebagai Crew yang selalu terlibat dalam kegiatannya Joni Asman, DOP dan Greg Usanta sebagai Cameraman.
Greg yang pembawaannya pendiam, dan jarang bicara ini, oleh Joni Asman dkk sering ‘dipakasa ngomong’ didepan Camera.
Telah banyak konten YouTube yang di produksi Monggang Studio. Dan Si Pendiam itu, ternyata bisa cerewet juga dalam memerankan karakter Pak RT dalam konten YouTubenya.
Saya memang sedang banyak kegiatan belakangan ini, beberapa kali mampir ke Monggang Studio, tempat ngumpulnya para Alumni ASDRAFI, tidak bertemu Greg. Jadi ketinggalan berita bahwa, diam – diam, Greg Usanta tengah mempersiapkan Lounching Antologi Puisinya.
Ketika hal ini saya konfirmasikan ke Mahmoud Elqadrian, dengan maksud menanyakan jadwal latihan para pembaca puisi karya Greg Usanta yang hendak di luncurkan dalam Antologinya, malah lantas mengirimkan file Catatannya tentang rencana Lounching Antologi Puisi karya Greg Usanta.
tgl 7 Juli 2025, PKL.19:00 , di Pendapa nDalem Pakuningratan , Jl. Sompilan 12, Ngasem, Yogyakarta.
“Pak Tito harus dateng lho. Ini saya kirim Catatan Lounchingnya”
Saya secara pribadi sangat mengapresiasi kejutan dari Greg Usanta, yang tiba – tiba terlihat menyalip teman – teman , para Penyair IKASDRAFI, yang sudah lebih dulu terdengar tengah mempersiapkan Peluncuran Antologi Puisi juga dalam waktu dekat ini. Kalau tak salah judulnya : Negeri Sontoloyo #3 (?).
Melengkapi tulisan ini, saya lampirkan Catatan Lounching oleh
: Mahmud Elqadrian.
Tentang Back Stage dalam Puisi Greg Usanta
NGILA LARA
siang merangsang keangkuhan
pulang datang contadora
mati kutu ragu gigu
keparat sarat laknat
terinjak kaki kaki purba
nelangsa di dawai senja
air mata enggan sembuhkan
luka luka jaman
yang ternyata yang bisa
hanya dirinya seorang
malam sumpah palapa gajah mada
sumatera jawa sampai papua
masih nelangsa lara
dua belas malam
sofa kumal sarung kumal
dua kaca mata minus
memandang indonesia raya
dari kolong jembatan kereta
Yogyakarta, 2025
Jika panggung sosial masyarakat terbagi dua sebagaimana yang dirumuskan dalam teori Dramaturgi Erving Goffman tentang istilah Front Stage dan Back Stage dalam buku teori sosiologinya “ The Live Presentation of Self in Everyday Life”. Maka panggung depan (Front Stage) merupakan kehidupaan rekaan pencitraan yang diliputi kepalsuan. Sedang kehidupan yang nyata ada di panggung belakang yang berisi realitas kehidupan yang sesungguhnya tanpa manipulasi dan kebohongan. Dan puisi sesungguhnya adalah kehidupan di belakang panggung sosial yang nyatam yang bekerja dan beroperasi kewilayah gelap kenyataan yang sering tertutupi kebohongan dan kemunafikan.
Puisi juga menjadikan dirinya sebagai ruang berpikir dan gagasan yang dikemas secara estetik. Sebagaimana puisi menjadi rumah bahasa yang menampung kegelisahan kata-kata dari sesuatu yang imajinatif dan di olah secara kreatif. Ketika puisi dianggap penting untuk ditulis, tentu ada sesuatu yang menarik untuk disampaikan oleh sang penyairnya. apakah ia berupa catatan kesaksian suatu peristiwa sosial politik tentang ꦏꦫꦺꦴ rezimitas keuasaan yang dianggap buruk. kemudian menjadikan hal yang lazim di tulis dalam bentuk puisi-puisi ktitik dan perlawanan?
Puisi bisa menjadi cermin peradaban, budaya yang senantiasa memantulkan perilaku perangai sosial masyarakat. Maka wajar kalau puisi berisi kritik sosial sering kita jumpai dimana-mana dan hal ini menjadi sah-sah saja dalam merayakan kemerdekaanya sebagai penyair. Dan apa yang dituliskan dalam puisi-puisi Greg Usanta juga tidak terlepas dari puisi kritik yang berada dipanggung belakang ( Back Stage) yang memotret dinamika sosial yang nyata dan politik yang dianggap penuh absurditas dan melawan akal sehat. Meskipun dengan gaya puisinya yang khas bersahaja tidak memenggempita dalam mengolah diksinya, namun warna kegetiran sangat terasa dalam penggunaan bahasa ungkapnya yang satire
Sepanjang saya mengenal Greg Usanta termasuk sosok pribadi yang kalem, sebagaimana halnya alur jalan kepenyairannya disikapi dengan cara yang bersahaja, adem-adem saja. tidak menghebohkan diri dengan menyakin-yakinkan bahwa ia adalah penyair. Bahkan cenderung seperti “ora niat” menjadi penyair professional. Kendati sejatinya ia adalah penyair tulen yang setidaknya memiliki latar belakang keilmuan yang mumpuni secara akademik. Dengan catatan pendidikanya yang sempat kuliah di IKIP Sanata Dharma jurusan sastra dan Asdrafi, serta pengalamannya yang panjang di dunia teater dan Film tentu memperkaya cara pandang melihat fenomena sosial yang ad
Jika kita menelisik puisi-puisi Greg Usanta. Dia lebih memilih dan memiliki karakter gaya bercerita laiknya sebuah penuturan sebuah mitos, epos dan kritik sosial yang tidak bertele-tele cenderung lugas dan apa adanya. Tidak menyembunyikan diri dibalik metafor dan simbol yang me-filosofis. Tetapi puisi-puisi Greg laiknya cerminan masyarakat dalam melihat satu peristiwa sosial yang ditanggapi ala kadarnya. menikmati kesakitan berjamaah (bersama) tanpa harus mengepal-ngepalkan tinju tangannya di udara. Kesal marah sendiri namun mengajak orang berpatisipasi ikut marah lewat puisi heroiknya
Membaca puisi Greg kita diajak sekedar gerundelan laiknya orang sebal menyaksikan sesuatu yang serba memuakkan. sebagaimana tingkah polah para penguasa, pejabat dan politisi yang sulit diharapkan bermoral baik dan lebih suka mengotorkan tanganya dengan melakukan korupsi yang nyata-nyata perbuatan kejahatan. Lalu pertanyaannya kenapa korupsi semakin tumbuh subur dan terus menerus dilakukan. Apakah resiko di penjara tidak cukup membuat jera ? alih-alih menyempatkan berpikir tentang dosa. Dan semua itu dinilai menjadi potret paradok bagi negeri yang dikenal berbudaya, bangsa di penuh narasi-narasi kearifan dan kebajikan. serta masyarakat yang dikenal mengedepankan etika adab budi pekerti dan warna religuisitas yang melekat kuat dibumi Pancasialis ini.
Buku sekumpulan puisi “Kunang kunang Berselendang Bianglala” yang memuat hampir 40 an puisi dengan berbagai judul dan tema, sangat menarik untuk dibaca dan direnungkan, saya mencoba menafsir dengan mengambil satu judul puisi pendek dari kebanyakan puisi-puisi Greg Usanta yang panjang.
Stasiun Kereta dipucuk rambut Ibunda
Stasiun kereta yang berada di pucuk rambut ibunda
menutupkan palang pintunya akan lewat
gerbong gerbong di pagi buta
sarat dengan bintang bintang yang dipetik
diladang tanah garapan nenek moyang
Sementara anak anak
menyematkan sarung kantuknya
yang semalaman penuh dengan peta
telah melintas sebaris gerbong
yang ditunggu kosong
Anak anak tidak tahu bahwasanya
mereka lupa mengancingkan pintu bajunya dipagi itu
selalu saja tak terkendalikan kantuknya sendiri
menetek susu ibunya yang penuh madu
sambil sebelah tangannya melambai lambai pada kereta
yang meniti helai helai pucuk rambut ibunda
Yogyakarta, 202
Puisi ini dengan nuansa puitiknya menggambarkan harapan anak-anak, dari negeri yang dikenal “Gemah Ripah Loh Jinawi”. namun hanya menemukan gerbong kosong setiap yang ditunggu. Kereta peradaban yang melenakan kantuk dengan sihir-sihir mainan gadgetnya. menjadi gaya hidup regenerasi yang terdesain hidonis dan konsumer. Siapa akan membangunkan dari keterlenaan agar tidak tertinggal kereta yang menyisakan lambaian tangan mengapai nggapai. Puisi ini memberi pesan paradok sebagaimana yang di ibaratkan di pucuk rambut ibunda ( tanah airnya ). Yang di persepsikan sekedar perjalanan kereta yang sia-sia pada stasiun kosong dan tidak mampu meneruskan perjalanannya karena tertutup palang pintu
Dari banyak potret yang di lukis ulang lewat rekaman puisi Greg Usanta dengan penuh satires, meski diungkapkan dengan kesahajaan tapi sarat pesan makna yang mendalam seperti pada sepenggal paragraf puisi :
PATHAK WARAK DOOR
genetika para koruptor
E… dhayohe teka, gelarna klasa
ora dadi tulodo, sing padha kuasa
E.klasane bedhah, tambahen jadah
penguasa ora genah, ojo digebyah uyah
E..jadahe mambu, pakano asu
Pathak warake nesu. nggondol cah ayu
E..asune mati kelekno kali , asune korupsi lenokno bui
E..kaline mati centhelno pager, sing seneng korupsi
gaweane ngrancang angger-ngger
Yogyakarta, 2025
Pada pola dan tema puisi diatas Greg meminjam tembang mainan jawa yang di daur menjadi puisi satirenya dalam memotret ketidak becusan para pemimpin negeri yang betul-betul tidak tahu diri / ndablek “ rai gedeg ( muka tembok/pagar bambu) dan Greg mencoba mengkritisinya dengan tembang “ uro-uro” mungkin sambil leyeh-leyeh dan sekali lagi tidak dengan tangan mengepal keudara. marah-marah sendiri tapi inginnya puisinya bisa mengajak orang marah berjamaah
Saya mengenal Greg usanta bukan saja sebagai sesama penyuka sastra dan juga karena kebetulan teman seangkatan saat kuliah di ASDRAFI ( Akademi Seni Drama dan film Indonesia) di Yogyakarta, bahkan sempat satu kost . Namun ada yang lebih saya kenal tentang gaya hidup dan karakternya. yang tidak pernah terlihat marah bahkan jarang menggunakan “ tanda seru ” dalam setiap percakapan. walaupun secara umum kompleksitas hidup manusia tentu tidak bisa menghindari emosi marah atau sedih sekalipun. Greg memilih menjalani hidupnya dengan penuh rasa dan sensitifitas kepekaannya
Hal tersebut bisa kita simak pada puisinya tentang sensitifitas dan kepekaannya kepada sahabat karibnya Alexander (Jedink) saat pergi dipanggil Tuhanya.
BAPA..MENGAPA TIDAK AKU SAJA
YANG BUKAN SIAPA SIAPA
Bapa.. mengapa pagi pagi buta
Engkau ajak pergi masih terlalu pagi..
sementara ayam jantan bertengger di ufuk timur
belum mengepakkan sayapnya untuk berkokok
Bapa..kenapa bukan aku saja
Engkau ajak aku meniti pagi bulan dan matahari
mengembara ke bukit persemayaman
kuburan dan batu nisan seakan tidak percaya
ternyata telah tiada
Oh.. Alexander
masih tergambar seribu wajah wajah berseri
masih teruntai seribu satu ronce ronce melati
thole anak lanang sing tak kudang kudang
aja adigung adigang sapa sira sapa ingsun
aja rumangsa bisa ananging bisaa rumangsa
mbabak branang netes luh kelangan anak lanang
Diajeng mbak ayu kang mas dimas
tutugna anggonmu reroncen melati kang wis karonce ronce
anak lanang sing wingi lagi bali sapa kang kudu asung tuladha
ambangun karsa wening ing cipta
tut wuri handayani mugi mugi Gusti ngijabahi
Laki laki senja berenang di sungai kedurang
menyeberang di lautan perempuan malam
hampir tenggelam di pusaran air mata jahanam
diselamatkan petualang anak alam
GNoah..kapan lagi kita bisa berenang di sungai dan pantai
sambil menikmati pagi secangkir kopi dengan santai
engkau asyik bermain pasir pantai yang tergadai
sementara abimu pergi untuk selamanya..
Yogyakarta, 2025
. Pada paragraph akhir pada puisi ini ada catatan kenangan yang mendalam pada diri Greg, terhadap sahabatnya Alexander Jedink dan anaknya yang bernama Gnoah. Dengan latar cerita saat pergi bermain di kampung halamannya sahabatnya (Joni Asman) di Bengkulu. Ada peristiwa kenangan yang tidak terlupakan saat nyaris terbawa arus sungai Kedurang, yang seperti menghubungkan firasat bahwa pada setahun berikutnya alex pergi untuk selamanya. sebagai kedekatanya dalam persahabatan. Greg sampai berbicara kepada Tuhanya, Puisi elegi ini sebuah Inmemoriam kepada sahabat yang menyentuh
Puisi-puisi Greg Usanta merupakan cermin yang terpantul dari perangai sosial masyarakat yang ditulis kewat karya puisinya dalam memotret persoalan sesuai apa yang dilihat, dirasakan dan dialaminya. Sebagaimana ungkapan gaya puisinya yang khas dengan kosa bahasa dan diksinya sangat bersahaja. Tidak mengada-ada dan melebih lebihkan realitasnya, apalagi mendahsyatkanya.
Greg Usanta lahir di Delanggu Klaten 61 tahun yang lalu. Awalnya dikenal sebagai pekerja Teater dan film. Namun sejatinya ia adalah penyair yang mempunyai latar Pendidikan sastra di IKIP Sanata Dharma dan di ASDRAFI (Akademi seni Drama dan Film Indonesia) Yogyakarta.1990. Perjalanan kepenyairannya di lalui dengan bersahaja tidak menggebu gebu namun beberapa puisinya telah di terbitkan bersama para penyair Asdrafian dalam Antologi Senandung Angin dan Kunang Kunang Berselendang Bianglala adalah kumpulan puisi yang diterbitkan oleh Pustaka Asdrafi merupakan Antologinya yang pertama
Kumpulan buku Puisi Greg Usanta berisi judul yang berfariatif dan unik :
PATHAK WARAK DOOR
SAJAK PENARI DUO MERAH
PADA MINGGU PAGI YANG TERGESA GESA
BIDAK BIDAK KUDA HITAM
RADEN AJENG KARTINI
SEPULUH NOPEMBER EMPAT LIMA
SAJAK TENTANG NYAI RORO KIDUL episode satu
SAJAK TENTANG NYAI RORO KIDUl episode dua
SAJAK TENTANG NYAI RORO KIDUL episode tiga
SAJAK TENTANG NYAI RORO KIDUL episode empat
SAJAK TENTANG SANG LuEGENDA episode lima
SAJAK TENTANG SANG LEGENDA episode enam
BAPA..MENGAPA TIDAK AKU SAJA
KENDURIAN DI NEGERI PARA DEWAN
KUNANG KUNANG BERSELENDANG BIANGLALA
PADUKA PADUKA BERTONGKAT WASIAT
SECANGKIR KOPI DI RERUMPUTAN BERDURI
EPISODIA DESEMBER
TERKAPAR
MENIMANG NIMANG BARA MATAHARI
SAJAK LURAH SHINTA DAN SOLI DAVID
NUANSA NUANSA PARAS AYU
SAJAK PURA PURA DEWATA
BALADA UPPSALA TERBINGKAI MALAM
H A M B A R
PADA SEBUAH TEMBANG KEBOGIRO
SEGELAS AIR PUTIH BERLAMPIN REMBULAN
STASIUN KERETA DI PUCUK RAMBUT IBUNDA
SELALU SAJA ENGKAU
Yogyakarta . awal Juli, 2025 .
Begitu, Catatan dan Isai Sekjend IKASDRAFI:
Mahmud Elqadrian.
Dalam penerbitan Antologi Puisi ini, Mahmoud Elqadrian yang berprofesi :
Penulis dan Pengamat Seni, ini juga sebagai Editor Penerbit Pustaka ASDRAFI.
Baca Catatan Mahmoud Elqadrian ini, saya semakin penasaran dengan gerilyanya Greg Usanta, yang tiba – tiba memberondongkan karya – karya puisinya dengan gerakan senyap yang dia lakukan.
Kunang Kunang Berselendang Bianglala itu membuatku berkunang – kunang juga.
Selengkung bianglala untuk Si Penyair Pendiam.
Dikabarkan oleh Tito Pangesthi Adji.