
Yogyakarta ~ https://suaraglobal.tv
Puisi menjadikan dirinya sebagai ruang berfikir dan gagasan yang menampung kegelisahan kata – kata dari sesuatu yang imajinatif dan diolah secara kreatif.
Ketika puisi dianggap penting untuk ditulis tentu ada sesuatu yang menarik untuk di sampaikan oleh sang penyairnya, apakah ia berupa catatan kesaksian peristiwa sosial politik tentang rezim kekuasaan yang dianggap buruk, kemudian menjadikan hal yang lazim ditulis dalam bentuk puisi – puisi kritik dan perlawanan ?
Bidak Bidak Kuda Hitam salah satu puisi dalam buku antologi puisi tunggal karya Gregorius Usanta yang di lounching hari Senin, 7/7/2025, di Pendapa nDalem Pakuningratan, Jl. Sompilan No.12 (eks.kampus ASDRAFI), Ngasem, Yogyakarta, merupakan cerminan politik di Indonesia ini.
Pada suaraglobal.tv yang hadir pada acara peluncuran buku itu, Greg Usanta mengatakan :
“Bidak Bidak Kuda Hitam, menyiratkan peristiwa – peristiwa yang sekarang terjadi di elite politik Indonesia.
Arahnya kesitu. Disitu ada permainan politik dan disitu saya gambarkan dengan permainan catur.
Dalam permainan catur itu, kan ; kawan ya lawan. Nah elite itu kadang begitu. Lawan juga kawan. Disitu ada hitam ada putih. Sebenarnya yang menentukan ya permainan. Tapi disamping itu kan ada pengawal – pengawal atau teman – temannya yang kadang mbisikin dan mempengaruhi. Ketika menang, yang meninggalkan ya yang atas ini.
Bidak – bidak catur menggambarkan elit yang berada diatas itu, yang kadang teman kadang lawan.
Yang tukang bisik, yang mempengaruhi ya orang – orang tertentu, dua atau tiga orang itu. Disitu ada putih dan hitam. Saat sekarang ini justru yang hitam yang menang.
Padahal dalam pertempuran biasanya kan menang yang putih. Nah saya menggambar sekarang ini. Yang hitam ini justru banyak pendukungnya. Banyak, seperti pion – pion itu kan ibarat orang – orang bawah, rakyat kecil, yang diadu – adu, dibentuk – benturkan, saling memangsa saling mencelakakan. Yang diuntungkan.kan yang diatas, para elit itu. Ini secara garis besarnya.
Bidak bidak kuda hitam. Saya menekankan kuda hitamnya. Karena yang menang itu dari yang hitam. Padahal seharusnya pemenangnya itu yang putih, karena dia melangkah pertama. Dalam permainan catur itu yang punya peluang lebih besar untuk menang yang putih, tapi sekarang ini yang putih malah kalah “, tandasnya.
Pada rangkaian acara Lounching antologi puisi terbitan Pustaka ASDRAFI ini, puisi – puisi karya Greg dibacakan oleh sejumlah aktor dan aktris teater para alumnus ASDRAFI, dan juga oleh para seniman Yogyakarta.
Ada yang dibawakan dengan iringan musik, ada yang diadaptasi menjadi pertunjukan teater humor oleh Joni Asman dkk, Kelompok Waton Gayeng, yang telah banyak membuat konten YouTube maupun Tik Tok, dan kali ini ditampilkan sebagai drama komedi.
Ada juga puisi yang direspon oleh 2 orang pelukis: Dodot dan Lidwina Ristanti di interpretasikan dan di bahasa – rupakan menjadi lukisan.
Ini hal baru. Biasanya para pelukis merespons tempat atau peristiwa, seperti pada melukis on the spot. Kali ini yang di respons puisi.
Dodot yang merespons puisi Bidak Bidak Kuda Hitam karya Greg Usanta pada suaraglobal.tv mengungkapkan :
“Saya didaulat, malam ini mencoba mem,’bahasa – rupa’kan satu puisi dari Bang Greg Usanta yang berjudul : Bidak Bidak Kuda Hitam.
Secara teknis, saya pribadi, setiap kali mau melukis saya mencoba menarasikan dulu. Setelah itu saya mencari bahasa visualnya. Seperti apa ?
Setelah ketemu barulah saya akan.menuangkannya dalam sebuah kanvas.
Sama, saat saya membahas rupa’kan puisi Bang Greg ini, bahwa saya mencoba memahami apa yang ingin disampaikan Bang Greg didalam.puisi itu. Setelah saya baca berkali – kali dan saya ketemu …oo, bahwa intinya ini, poin – poinnya ini…barulah saya mencoba mengimajinasikan secara visual. Setelah ketemu saya menuangkannya kedalam kanvas”
Adapun puisi karya Greg Usanta yang berjudul : “Perempuan Di Minggu Pagi”, direspon dilukis oleh Lidwina Ristanti.
“Saya disini bersama teman – teman ASDRAFI dan para seniman lainnya merayakan acara Lounching bukunya Bang Greg ini.
Akan tetapi jika teman – teman seni pertunjukan merespons dengan pembacaan.puisi, musikalisasi puisi, menginterpretasikan puisi dan adaptasi menjadi pertunjukan teater, drama komedi, disini saya mencoba untuk merespons puisi dari Bang Greg dengan judul…yang menarik buat saya adalah : “Perempuan Di Hari Minggu Pagi”.
Saya merespons puisi tersebut kedalam kanvas. Saya berusaha menuangkan di karya seni tupa , lukisan, melalui seni visual.
Ketika saya membaca puisinya Bang Greg, saya berusaha memahami secara subyektif saya, bahwa saya mengisahkan tentang seseorang yang digambarkan perempuan, tetapi ini juga mewakili banyak orang, dimana dengan.nengakui dosa – dosa, kesalahan…kalau di visual kan warna ya hitam…itu kemudian berpasrah diri, mengaku…atau pengakuan dosa ..kemudian juga ada pengharapan yang jelas menggambarkan dia punya keimanan dan yang membawa dia, bahwa akhirnya dari yang hitam pun, ketika kita berpasrah dan mengakui, setelah itu ada pengampunan. Kemudian akan dibimbing oleh cahaya itu.
Jadi dengan.penuh iman dan pengharapan dari hitam itu menuju cahaya putih. Eee..demikian yang saya tangkap maknanya ketika membaca puisi itu.
Manusia itu harus berhati besar, ya, berani mengakui siapa dirinya ..kotor…hitam lah..menuju perbaikan – perbaikan dengan membawa iman dan pengharapan yang baik akan bisa kepada Cahaya Ilahi…”
Itu interpretasi dan penghayatan atas puisi Perempuan Di Hari Minggu Pagi, yang di wujudkan menjadi sebuah lukisan oleh Lidwina Ristanti .
Bagaimana dengan inspirasi dan idea penyairnya akan “Perempuan Di Minggu Pagi’ ?
“Puisi ini tentang religiusitas. Saya sebenarnya ya belum seberapa, belum apa – apa..disaat tertentu pada Minggu pagi..
Saya menggambarkan pada sebuah gereja itu sebenarnya terjadi pergolakan juga, walau ketika kita melihatnya dari luar ; wah khusuk sembayang nya. Tapi saya ingin menggambarkan di gereja pun nggak mulus – mulus amat seperti kita melihatnya dari.luar…Mereka sembayangnya khusuk, rajin ..Nggak begitu juga. Sering ada intrik – intrik. Nah saya gambarkan dengan perempuan yang … Ya gitulah… Termasuk pasturnya itu juga.
Saya mengambil sett di gereja, tapi saya pingin bicara lebih luas…’
pungkasnya mengakhiri wawancara ini.
Tito Pangesthi Adji.
Di penghujung rangkaian pembacaan puisi, Pembawa Acara Anna Ratri mempersilahkan Pelukis Dodot dan Lidwina Ristanti untuk mempresentasikan hasil lukisannya.