
Kulon Progo/ suaraglobal.tv ~
Selain mengemas potensi desa dalam bentuk pertunjukan dan pameran karya seni rupa, Dhaksina Adikarta juga menampilkan lapak baca di area festival.
“Lapak sederhana menyediakan ratusan buku, terletak diantara stand – stand UMKM yang mempromosikan berbagai produk kerajinan dan kuliner dari ibu ibu PKK dan warga dusun Kriyan, Karangwuni, Kulon Progo”, kata Candra Ketua panitia penyelenggara menjelaskan.
Sedangkan Sujarwo yang mewakili kelompok
Lapak Baca, menambahkan keterangan :
“Taman bacaan atau lapak baca di area festival, merupakan respon Panitia dan para seniman atas fenomena meningkatnya penggunaan teknologi digital seperti smartphone dan akses internet yang mudah dapat mempengaruhi perilaku pelajar, termasuk mengurangi minat membaca buku.
Maka dibuatlah sebuah barak sederhana sebagai perpustakaan terbuka di area Dhaksina Adikarta Festival” kata
Sujarwo yang ikut mengawal kolaborasi dengan panitia penyelenggara festival ini menuturkannya pada suaraglobal.tv :
“Kemajuan jaman dan perkembangan teknologi bukan berarti menyebabkan pelajar menjadi malas belajar secara keseluruhan.
Nah, untuk mengurangi kecenderungan ini dan mengingatkan pelajar tentang pentingnya belajar, para seniman seni rupa membuat grafiti, instalasi dan juga lapak baca yang bermuatan pesan”.
Di area festival ini suaraglobal.tv menemukan sebuah papan yang ditempel pada sebatang pohon, bertuliskan :
“Ku muliakan DIRIKU DENGAN ILMU DAN PERJUANGAN”
Dari sini nampak bahwa, tentu panitia, pengelola sanggar Nimba Karsa, juga para perupa Daulat Sampah dkk, sudah memprediksi festival yang berlangsung selama 4 hari itu bakal dikunjungi juga oleh ratusan orang dewasa berbagai latar belakang. Sehingga dibuatlah juga pesan pada sebuah spanduk yang di bentangkan, berisi gambar dan tulisan ala komik atau karikatur seperti ini :
“Kawal Fasilitasi Budaya”,
(pada sisi kiri),
Logo Dhaksina Adikarta Festival (pada bidang tengah, ada aksara Jawanya), “Kanggo Nglestarekake Budaya” , (pada sisi kanan) dan “Aja di korup !”
Kondisi kehidupan berbangsa bernegara yang puluhan tahun terakhir ini dilanda korupsi yang terlalu parah dan melibatkan kalangan atas hingga bawah, dari pusat pemerintahan hingga tingkat daerah, menjadi perhatian para seniman yang berpartisipasi pada festival Dhaksina Adikarta ini.
“Kritik yang membangun juga penting di usung dalam even seperti Festival ini”, lanjut Sujarwo.
Salah satu grafiti dibuat dengan mengutip tulisan Emha Ainun Najib budayawan yang sering nyentil para pemimpin dengan kritik tajamnya :
“Dunia ini masih dipimpin oleh orang yang lebih memilih kenyang, meskipun di jadikan budak, daripada lapar bertahan
pada harga dirinya ”
(Cak Nun)
Para seniman, sastrawan, budayawan juga bisa menjalankan fungsi kontrol di masyarakat, dan mengekspresikannya melalui karya seni.
Sentuhan seni, kritik berisi pesan pada pelajar malas belajar dan pejabat gemar korupsi itu, diingatkan oleh para seniman melalui karya yang di pamerkan.
Pesannya tentang pentingnya mengembangkan kebiasaan hidup yang baik.
Krisis moral yang mengakibatkan minimnya para pemimpin atau penyelenggara pemerintahan yang bersih dan berwibawa, menjadi keprihatinan rakyat kecil dan dirasakan oleh para perupa itu, sehingga nampak kritikannya bermunculan pada sejumlah drawing yang terpajang 4 hari selama berlangsungnya Dhaksina Adikarta Festival.
Tapi perhatian mayoritas pengunjung, lebih tersedot pertunjukan Kelompok Jathilan Reksa Tanjung Adikarta baik Jathilan putra maupun putri, yang sarat atraksi kelincahan menari serta lenggang lenggok yang (kadang) erotis, bergoyang mengikuti bunyi musik gamelan yang mengiringi lagu – lagu campursari, di bawah sorotan cahaya lighting warna – warni dan semburan smoke yang bergelung – gelung di panggung.
Para pemain Jathilan setengah angguk itu laksana bidadara – bidadari yang menari diatas gugusan awan .
(siapa tahu imajinasi penonton begitu ?)
Penulis Tito Pangesthi Adji