
Gunungkidul ~ suaraglobal.tv
Gunungkidul bukan hanya terkenal dengan gua, pantai, dan bentang karstnya. Di balik alam yang keras, wilayah ini menyimpan tradisi seni rakyat yang lembut sekaligus penuh daya hidup, salah satunya adalah tayub, yang di Gunungkidul lebih akrab disebut ledhek.
Tayub sudah ada sejak ratusan tahun silam di tanah Jawa. Di Gunungkidul, tayub/ledhek lazim hadir dalam ritual hajatan: pernikahan, khitanan, bersih desa, hingga peresmian rumah baru.
Seorang penari wanita (ledhek) menari anggun diiringi gamelan, lalu mengalungkan selendang (sampur) kepada tamu laki-laki untuk menari bersama. Tindakan sederhana ini menyimpan makna simbolik: mengikat persaudaraan, mengundang kesuburan, serta mengalirkan doa agar hajat lancar.
Bagi sebagian masyarakat lama, tayub dianggap sebagai “sajian seni untuk penguasa alam dan leluhur”. Artinya, ia bukan sekadar hiburan, melainkan juga ritual penghormatan, selain juga memiliki fungsi sosial, Guyub Rukun dan Ekspresi Rakyat
Dalam suasana tayub, semua orang larut dalam kegembiraan. Musik gamelan, suara sindhen, dan gerak tari lemah gemulai menghadirkan kehangatan. Orang-orang tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga ikut serta menari. Dari sini terjalin rasa kebersamaan. Tayub menjadi ruang sosial di mana batas antara tamu kehormatan, warga biasa, dan seniman melebur dalam tawa dan gerak.
“Ledhek itu bukan hanya joget. Kami membawa doa lewat gerakan. Sampur yang saya kalungkan ke penari laki-laki itu lambang rejeki dan keberkahan, supaya hajatnya selamat.”
ujar seorang pelaku ledek di daerah Samanu, Gunungkidul yang kini usianya sudah senja, tetapi murid-muridnya masih melanjutkan tradisi itu.
“Menjadi ledhek adalah jalan hidup, bukan sekadar profesi”, imbuhnya.
Seiring waktu, tayub mendapat stigma negatif: dikaitkan dengan minum-minuman keras atau perilaku nakal di panggung. Akibatnya, banyak hajatan memilih hiburan lain seperti organ tunggal atau dangdut.
Namun di Gunungkidul, beberapa kelompok seni tetap berusaha mempertahankan tayub dalam bentuknya yang bermartabat. Mereka menekankan sisi estetika tari, keindahan musik, dan filosofi agar tayub tetap bisa diterima masyarakat modern.
Di Blora dan Tuban (Jawa Timur): Tayub masih kuat, bahkan menjadi ikon budaya. Biasanya ditampilkan pada acara resmi, dengan tata cara yang lebih formal. Di Banyumas (Jawa Tengah), dikenal dengan lengger, yang mirip tayub tetapi penarinya bisa laki-laki berpakaian perempuan. Di Gunungkidul (DIY): Lebih intim dan sederhana, dekat dengan akar ritual dan hajatan rakyat. Tidak semegah di Jawa Timur, tetapi memiliki nuansa spiritual yang khas.
Di tengah gempuran hiburan modern, tayub-ledek di Gunungkidul tetaplah bagian dari identitas budaya lokal. Ia menyimpan memori kolektif tentang bagaimana leluhur merayakan kehidupan: penuh suka cita, guyub rukun, dan selalu menyatu dengan alam serta leluhur.
Melestarikan tayub bukan sekadar menjaga sebuah tarian, melainkan merawat roh budaya Jawa yang menjunjung kesuburan, kebersamaan, dan penghormatan pada kehidupan.
(Ss)