×

Oleh: Fauzi As

Di negeri ini, kita sering melihat pejabat baru datang dengan gaya gebrakan. Tetapi jarang ada yang sekencang Menteri Keuangan kita, Purbaya Yudhi Sadewa.

Baru beberapa minggu duduk di kursi empuk, sudah berlagak seperti superman birokrasi: seolah mau mengambil alih pekerjaan Dirjen Bea Cukai dan Dirjen Pajak sekaligus.

Dalam satu konferensi pers, Purbaya bicara soal larangan rokok ilegal dengan nada lantang. Katanya akan menyisir warung kecil, toko ritel, bahkan sampai ke Tokopedia dan Bukalapak.

Hebat! Hanya saja, yang mendengar bisa salah sangka: bukankah urusan itu sudah ada Dirjennya? Kalau begitu, apa saja yang mereka kerjakan selama ini? Diam di balik meja, menunggu ditunjukkan jalan oleh sang menteri?

Kalau benar begitu, Purbaya bukan sekadar menteri keuangan, tapi juga dirjen segala dirjen. Besok-besok jangan kaget kalau ia juga mau jadi kepala desa, supaya lebih dekat ke rakyat.

Namun di balik nada heroik itu, ada aroma lebai yang tercium. Purbaya bicara soal pengecer rokok “toplesan” seolah masalah bangsa ini hanya terletak di warung pinggir jalan.

Padahal yang menghisap darah petani tembakau bukanlah penjual rokok eceran, tapi korporasi raksasa yang punya gudang uang tak berseri.

Mereka ini yang menguasai pasar puluhan tahun, mengantongi laba triliunan, dan ironisnya, ikut menuliskan nama “Tembakau Madura” dalam iklan mereka, tanpa pernah berbagi keuntungan kepada petani Madura.

Baca juga  Surat Untuk Polisi Militan PM

Saya ingin menantang Purbaya: jangan hanya bersuara keras di Jakarta dengan pendingin ruangan, datanglah ke Madura. Turunlah tanpa protokoler, tanpa ajudan yang sibuk membuka pintu, tanpa karpet merah dan mikrofon resmi.

Datanglah ke desa-desa, hirup bau keringat petani yang tiap musim panen tembakaunya dihargai semurah janji politik.

Lihat dengan mata kepala sendiri bagaimana industri kecil rokok kretek tradisional perlahan dibunuh oleh negara lewat cukai yang kian mencekik.

Purbaya mungkin lupa, atau pura-pura lupa, bahwa setiap kenaikan cukai tidak pernah membebani korporasi besar.

Mereka hanya tinggal memindahkan beban itu ke rakyat jelata. Harga rokok naik, konsumen tetap membeli, negara tetap menagih, dan korporasi tetap tertawa.

Yang menjerit adalah rakyat kecil: penjual warung, perokok pekerja bangunan, hingga petani yang tembakaunya dibeli dengan harga tak masuk akal.

Bahasa “pemberantasan rokok ilegal” yang dikumandangkan Purbaya semakin mempertegas kecurigaan rakyat: menteri keuangan yang baru ini lebih mirip juru bicara korporasi besar ketimbang pelindung ekonomi rakyat.

Sebab yang dibidik hanyalah pengecer kecil, bukan konglomerasi besar yang menari di atas penderitaan petani.

Ingat, Purbaya, harta triliunan yang mereka pamerkan di bursa saham itu bukan muncul dari ruang hampa.

Itu berasal dari air mata bapak dan ibu kami, dari ratusan ribu peluh petani Madura yang tanahnya kering dan panas, tetapi masih ditanami tembakau demi menghidupi bangsa ini.

Baca juga  Rudy Saladin Dengan Ramalan 2055

Kalau Purbaya sungguh-sungguh mau berlaku adil, jangan hanya menindak rokok toplesan, tapi juga bongkar monopoli korporasi besar yang selama ini dianggap “legal” hanya karena mereka punya akses langsung ke pejabat tinggi.

Kalau tidak, gebrakan Purbaya hanyalah drama lebai: ramai di konferensi pers, kosong di nurani rakyat. Dan rakyat Madura sudah terlalu lama jadi korban dari drama seperti itu.

(Hendra Sanjaya)

Menantang Menteri Keuangan Purbaya